Saat ini keluarga Wijaya sedang makan malam bersama. Sebuah hal yang wajib dilakukan. Jika mereka semua sedang sibuk, setidaknya mereka harus melakukannya sekali dalam satu minggu.
"Varo, gimana basketnya? Masih lanjut?" ujar Martin setelah selesai dengan makan malamnya
"Masih yah. Pemain yang turun kemarin di lapangan harus tetep gabung. Kata coach Dani biar gampang atur strategi, soalnya kemarin kita mainnya udah pada bagus"
"Bangganya.. Anak bungsu ayah ini emang hebat" Martin tersenyum bangga. Ia senang, anaknya mengisi hari - harinya dengan kegiatan yang positif
"Vano, kamu sendiri gimana? Klub matematika nya masih join?" Ya, memang sulung Wijaya ini lebih cepat tanggap dalam hal akademik. Terlebih lagi matematika dan sains.
"Masih, yah. Ini lagi persiapan buat penerimaan anggota klub baru. Kita lagi nyusun soal - soal aja sih" jawab Vano dengan tenang. Sungguh menggambarkan sulung sekali, tenang dan berwibawa. Sedangkan di sisinya, Vale sedikit mengerutkan dahinya. Buset dia ngomong begitu kayak nggak ada beban. Amit - amit banget harus berurusan sama matematika lagi. Di kelas aja udah puyeng, ditambah ikut klub ujarnya.
"Vale?"
"Eh, ya ayah?"
"Kenapa nak? Ada yang salah sama makanannya?"
"Hah? Eh enggak yah"
"Apaan sih lo. Hah hoh hah hoh. Jawab yang bener" tungkas Varo yang dibalas delikan tajam oleh Vale
"Varo.." ujar Ratna. Jika tidak dihentikan, situasi ini akan berlanjut
"Hehe bercanda bundakuu" Varo tersenyum sedikit lebar, menampilkan gigi kelincinya yang lucu
"Vale sendiri gimana? Katanya mau buat pameran sama anak klub lukis?"
"Baru rencana sih yah. Kita kan juga butuh banyak persiapan, belum lagi cari donatur"
"Nanti ayah bantu jadi donaturnya, yang penting kalian semangat oke?"
"Huhuuu ayah baik bangeeet. Makasih ayaah" Vale berucap dengan nada yang sedikit manja
"Apa sih Vale geli banget gue" Varo memukul bahu Vale dengan kencang, membuat kakaknya itu meringis
"Sakit bego"
"Hey, kalian lupa masih ada ayah disini. Jangan jelek begitu bahasanya" Martin berucap tegas. Anak - anaknya ini memang sering membuatnya naik darah
"Maaf ayah" ujar keduanya
"Makanya, ngobrol ya yang normal - normal aja. Kata gue lo berdua aneh" Vano menyahut
.
Dini hari, Vale tiba - tiba terbangun dari tidurnya. Hasrat ingin buang air kecil tak bisa ia tahan lagi. Ia menyalakan lampu utama kamarnya. Melirik jam di nakas, yang menunjukkan pukul dua lebih tiga belas
"Aduh mampus gue, masih malem ini. Tapi udah gak kuaaat"
Ia beranjak dari tempat tidurnya. Sedikit berlari menuju kamar mandi yang berada di ujung, di samping kamar tidur Vano.
"Ko tumben ini kagak dinyalain lampunya? Apa lagi mati ya?"
Biasanya, lantai dua ini lampunya tak pernah padam. Selalu dinyalakan, mengingat Varo tidak bisa tidur jika keadaan gelap. Berbanding terbalik dengan Vale yang terbiasa dengan lampu temaram. Hal ini juga yang sering menimbulkan perdebatan ketika mereka bertiga menginap di kamar Vano yang membuat ia jengah. Vano sendiri bisa tidur dalam keadaan gelap dan terang. Ia tak mempermasalahkan itu. Toh ia bisa tidur dengan nyenyak. Si raja tidur, memang.
"Yuk Vale bisa yuk berani, ini udah gak ketahan banget. Udah diujung"
Vale melanjutkan langkahnya. Namun kemudian terdengar suara bising dari dapur, di lantai bawah. Tubuh Vale seketika menegang. Anjir suara apaan itu. Sue banget! Ia menggerutu sendiri dalam hati. Ia hanya ingin buang air kecil, namun rasanya mengapa sesulit ini?
Refleks tubuhnya menuju kamar sang adik. Ia langsung masuk ke kamar itu, melihat adiknya sedang tertidur pulas. Ia sedikit menarik selimut yang Varo kenakan
"Var, gue pengen pipis ini tolongin anter"
Varo tak menggubris. Ia masih nyaman bergelung dengan selimut hangatnya
"Varooo ih anjir" Vale menggoyang - goyangkan lengan Varo. Membuat Varo membuka matanya kecil
"Apaan sih kak, ini udah malem. Balik sono ke kamar lo"
"Tolongin gue please. Pengen pipiis, temenin"
"Lo udah gede Vale, pergi sendiri bisa anjir ah" ia membenarkan posisi selimut yang tadi sempat ditarik Vale
"Varooo ayoo dong"
"Halah, repot banget lo. Yaudah ayo. 3 menit aja, udah gitu gue tinggal" ia beranjak dari tidurnya walaupun dengan raut wajah yang kesal. Tidur nyenyaknya harus terjeda gara - gara Vale
"Hehe makasih adek Varo sayang, nanti kakak beliin es krim mau ya?"
"Bajingan, cepet gak jalan??!!"
Vale hanya tertawa. Ia kemudian melangkahkan kakinya lebih dulu keluar dari kamar Varo. Namun langkahnya terhenti, pandangannya tertuju pada lantai bawah rumahnya. Tepat di depan dapur, tempat ia mendengar suara bising tadi. Varo yang masih setengah sadar, menubruk punggung Vale yang berhenti mendadak
"Kenapa berhenti sih? Ayo jalan Vale"
Vale tak bergeming. Ia masih setia dalam diamnya. Menatap ke arah dapur rumahnya. Varo yang melihat gelagat aneh Vale langsung berjalan ke depan, menyondongkan badannya untuk melihat wajah Vale dari dekat. Raut wajah kakaknya itu memucat, matanya menatap kosong ke arah dapur
"Val? Woy? Vale" Varo berusaha menyadarkan sang kakak dengan melambaikan tangannya di depan wajah Vale. Namun Vale hanya diam. Tak berekspresi sama sekali. Perubahan spontan Vale membuat Varo takut. Ia masih ingat, Vale bisa melihat hal yang ia tak bisa lihat
"Le.. Vale sadar woy" ia mengguncang badan kecil Vale. Kakaknya itu tetap tak bergerak. Bahkan, saat ini bulir keringat mulai bermunculan di dahi Vale
"Vale jangan bercanda heh ini masih malem. Vale sadar"
Sebisa mungkin Varo menyadarkan kakaknya, namun usahanya itu tak membuahkan hasil. Sampai terdengar suara pintu terbuka, itu Vano
"Kenapa?" tanya si sulung dari balik pintu
"Adek lo minta di anter ke kamar mandi. Tapi sekarang malah jadi diem begini, ini gimana?" Varo panik tentu saja. Sudah cukup lama Vale tak pernah seperti ini. Terakhir, mungkin sekitar kelas 3 SD. Vano menghampiri kedua adiknya. Menyadari ada yang tak beres dengan adiknya, ia melihat ke bawah. Arah dimana Vale menatap. Ia tak menemukan apapun disana.
"Vale kenapa dek?" ujar Vano lembut. Mengusap keringat yang masih bercucuran
"Vale!" Varo berucap dengan sedikit berteriak. Setelah itu, Vale menoleh ke arahnya kemudian berucap dengan sangat lirih
"Var, i-itu s-siapa?" sambil menunjuk ke arah dapur dengan tangan gemetar hebat
"Gak ada orang, Vale. Lo liat apa?"
Vale mengalihkan pandangannya pada Vano, kemudian berucap lagi
"Van, gue gak mau.." cicitnya
"Gak mau apa Val? Lo kenapa?" tanya Vano
Belum sempat Vale menjawab, tenaganya sudah terkuras habis. Ia terjatuh tak sadarkan diri di pelukan Varo
"Vale heh" Varo menepuk - nepuk pipi Vale. Berharap kakaknya itu akan sadar. Namun usahanya tak berhasil
"Bawa ke kamarnya sekarang dek" ujar Vano yang kemudian diangguki Varo
Dek, jangan bilang lo liat mereka lagi..
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Trouble
FanfictionGimana ya rasanya kalau kita punya kembaran yang beda - beda sifat?