Kini Vano sedang berada di lab kimia, sedang ada praktikum. By the way, ia dan kedua adiknya berada di kelas yang sama di 2-A. Tristan berada di 2-B sedangkan tiga teman lainnya berada di 2-D.
"Van, lo balik kelas ada acara nggak? Gue mau ngajakin lo ke perpus. Ngerjain tugas fisika kemarin. Masih kurang deh kayaknya materi gue" ujar Vale
"Tumben banget mau ke perpus? Biasanya harus diseret dulu biar mau"
"Ih, lo jangan gitu. Hargai usaha adek lo ini" bibirnya sedikit melengkung ke bawah
"Yaudah iya, dah lanjut lagi tuh tugasnya" Setelahnya mereka hanya fokus pada tugas masing - masing.
Pada kenyataannya, Varo juga ikut dalam sesi belajar di perpus mereka. Niatnya, Vale tak mau mengajak Varo karena adiknya itu senang sekali bersikap jail padanya. Padahal, ia sedang ingin fokus. Namun tak ada pilihan lain, Vano tetap mengiyakan keinginan Varo untuk bergabung
"Awas lo sampe gangguin gue, gue hajar" desis Vale
"Dih pengen banget di gangguin. Gue juga mau belajar kali biar pinter"
"Heh kalian ini. Dah diem" Vano cukup pusing mendengar perdebatan tak jelas kedua adiknya. Pasalnya, mereka sedang berada di perpustakaan. Ia khawatir ocehan mereka mengganggu yang lain.
"Gue mau ambil buku materi dulu. Lo berdua anteng anteng dah disini"
Vano meninggalkan kedua adiknya begitu saja. Melangkah menuju rak buku paling ujung. Ia mencari buku yang ia maksud, Kinematika dengan Analisis Vektor. Sejujurnya, ilmu fisika ini cukup sulit ia pahami. Namun, bundanya sudah mempercayakan kewajiban belajar tambahan sang adik padanya. Membuat ia mau tak mau harus lebih giat belajar. Ketika akan mengambil buku di rak atas, ia mendengar suara orang terjatuh. Beserta suara aduh yang diiringi ringisan pelan. Ia berinisiatif mencari, dan menemukan seorang perempuan terduduk di lantai. Sedang memegangi pergelangan kakinya, sambil sedikit menunduk. Vano menghampiri, kemudian bertanya
"Lo nggak apa - apa?"
Ketika perempuan itu balik menatapnya, betapa terkejutnya ia ketika yang dilihatnya adalah sosok yang selama ini masih ada di sudut hatinya. Sosok Celli, perempuan bando dengan dress mocca yang sangat melekat dalam ingatan masa kecilnya. Lamunannya buyar ketika perempuan itu menepuk tangannya
"Kak, boleh minta tolong? Gue gak bisa berdiri. Sakit banget"
"Eh, iya ayo gue tolongin. Sini"
Ia membantu perempuan itu berdiri. Memapahnya menuju meja belajar dia bersama kedua adiknya.
"Di meja gue dulu ya, biar ada temen sementara gue panggilin anak PMR. Semoga mereka masih pada stay"
"Thank you, kak"
Vano hanya tersenyum kemudian berlari keluar. Vale dan Varo yang tak mengerti apapun, hanya saling tatap. Kemudian, Vale memberanikan diri untuk menyapa
"Halo, kak. Eh mbak, duh siapa ya gue manggilnya"
"Celli. Panggil nama aja. Gue tingkat 2"
"Loh? Sama. Kok baru liat ya? Apa gue nya yang nggak pernah main keluar kelas?" ujar Vale
"Gue baru pindah kemarin. Ini ke perpus biar belajar sedikit sedikit materi buat besok. Kalian si kembar tiga itu kan?"
"Lah? Lo kenal kita?"
"Kok kalian lupa?"
Vale mengerutkan kengingnya. Matanya bergulir ke atas, khas orang sedang berfikir.
"Itu anjir, yang bilang si Vano ganteng dulu"
"Oalaaah, si bocah bando?"
"Sttt. Diem anjir, ini perpus. Lagian lo kagak sopan, dia kan udah perkenalan barusan"
"Ya maaf gue excited. Siapa sih nama lo?"
"Celli. Kalian ini satu kelas?"
"Iya. Awalnya gue doang sama Vano yang sekelas. Eh ni bontot mau ikut - ikutan sekelas juga. Untung ada anak kelas yang mau tukeran"
Tak lama, Vano datang bersama dengan salah seorang anggota PMR. Mereka bertiga mengamati Celli yang tengah diobati. Benar saja, kakinya terkilir. Ia disarankan untuk pulang lebih cepat, supaya mendapat penanganan yang lebih baik di rumah sakit.
"Nggak usah deh, gue di UKS aja. Sekalian nunggu dijemput nanti sorean"
"Sore? Apa nggak kelamaan Cel?" ujar Vano. Celli hanya menggeleng.
"Pak supir lagi anter ayah visit beberapa kantor. Supirnya ayah lagi sakit soalnya. Jadi ya mau nggak mau gue nunggu ayah kelar. Bilangnya sih jam 5 sore"
"Sama gue aja"
Vale dan Varo langsung serentak menoleh ke arah Vano. Apakah kakaknya itu lupa akan presensi mereka?
"Nanti Vale sama Varo gimana?" Belum sempat Vale menawarkan untuk pulang bersama, Vano lebih dulu berucap
"Mereka bisa nunggu sebentar, sedangkan lo nggak. Ya dek? Gak apa - apa kan gue anter dia dulu?"
Vale dan Varo hanya mengangguk pelan. Tak bisa menolak keinginan abangnya itu. Vano memang tak pernah banyak meminta, atau apapun itu. Ia bisa melakukan semuanya sendiri. Ketika Vano berucap seperti ini, mereka hanya bisa mengangguk.
Ujung - ujungnya, mereka berdua harus pulang dengan taxi online karena Vano belum juga kembali hingga sore hari. Menemani Celi yang sendirian di rumah, katanya. Sebenarnya tidak sepenuhnya sendiri. Ada satu asisten di rumahnya. Entahlah, mungkin Vano hanya ingin menemani teman masa kecilnya itu. Mengandalkan satu lembar uang lima puluh ribu yang tersisa di saku baju Vale, mereka bergegas pulang.
"Lagian lo jajan apaan aja su? Duit bekel abis semua sampe kagak nyisa"
"Gue tadi beliin makan si Yugi, emang asem tu bocah"
"Ngapa emang? Kalah battle lagi lo?" cengiran Vale mulai terlihat
"Diem lo. Udah tau nanya"
"Ya kan gue memperjelas aja. Sewot banget lo"
.
Hingga waktu makan malam tiba, Vano belum juga menampakkan batang hidungnya. Ratna yang merasa tak biasa akan hal ini pun bertanya pada Vale dan Varo
"Abang kalian kemana sih? Udah malem gini kok belum pulang. Besok kan masih sekolah"
"Pacaran kali bun" jawab Vale
"Ngawur. Dia kan nganterin Celli bun, gak ada orang di rumahnya. Dia nemenin sampe orang tuanya pada pulang kali"
"Ya tapi kok nggak ngabarin bunda gitu lho. Gimana sih abang ini haduuh"
"Abang belum pulang juga?" Itu suara Martin. Sontak semua yang ada di meja makan mengangguk. Ia menghela nafas, kemudian berucap
"Ya sudah, makan dulu. Nanti abang pulang biar ayah yang tanya"
Ketika sedang makan, fokus Varo teralihkan pada Vale yang sedari tadi terus saja memegang pundaknya sembari memijit - mijit kecil.
"Kenapa kak?" Ratna akhirnya bertanya. Varo pikir, hanya ia saja yang menyadari itu. Ternyata sang bunda pun sama
"Enggak, ini aja sih pegel. Pundak aku berasa berat gitu. Kayaknya tadi aku kebanyakan belajar deh" jawabnya sambil cemberut
"Makanya, belajar tuh nyicil. Jangan pas ada tugas doang. Ngeyel sih lo gue bilangin dari awal" Vale tak menjawab ucapan adiknya itu. Ia hanya melirik tajam sang adik, kemudian melanjutkan makannya. Begitupun dengan Ratna dan Martin. Hingga semua telah selesai, pukul sepuluh malam terdengar suara pintu terbuka. Menampilkan Vano yang masih mengenakan seragam sekolahnya.
"Darimana saja kamu Vano?"
Mampus, ayah marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Trouble
FanfictionGimana ya rasanya kalau kita punya kembaran yang beda - beda sifat?