Hari - H semakin dekat. Vale semakin disibukkan dengan berbagai macam kegiatan klub lukisnya. Tak jarang juga Varo dan Vano menunggunya hingga selesai rapat. Sebenarnya, Vano cukup sering absen dengan alasan utama selalu Celli. Sempat membuat adik bungsunya geram. Namun, Vale berhasil meredam amarah sang adik bungsu.
"Dek, bisa ambilin paracetamol gak di kotak obat? Meriang nih gue" ujar Vale
"Dah gue bilang, lo kemaren nggak usah belagak ikutan lembur sama anak - anak dekor. Tumbang kan lo. Hayoloh, ketuanya malah absen pas hari - H" jawabnya sambil membawa kotak obat yang tersimpan di atas nakas.
"Amit - amit. Ngomong tuh yang baik - baik"
"Lah kelakuan lo tuh nggak baik. Udah gue ingetin juga"
"Lo pas hari - H ada turnamen ya? Gue denger dari si Yugi" ucap Vale mengalihkan topik pembicaraan
"Iya. Gue ada laga away, nggak bisa standby sama lo nih di sekolah. Gimana dong?"
"Ya tanding aja kali, kenapa bingung?"
"Ya masalahnya kan nggak ada yang jagain elo kak"
"Emang gue tempat parkir dijagain. Lagian match lo itu lebih penting dari pameran gue. Cuma sebentar kan, selesai tanding lo nyamperin lagi dah ke sekolah"
"Yaudah. Tapi make sure lo udah prepare semua oke? Obat - obatan juga loh" ancam sang adik sambil menunjuk ke arah Vale
"Iyaa ampun galak amat nyet" ujar Vale seraya menepis tangan Varo.
.
Hari ini adalah hari yang ditunggu oleh Vale. Perlengkapan pameran semuanya sudah siap, pun dengan semua lukisan dan karya seni sudah tertata rapi. Ia sangat puas dengan kinerja rekan - rekan panitianya. Ia berniat akan membelikan makanan enak setelah ini. Selepas opening, semua tamu pun bergiliran masuk. Bunda dan ayah pun hadir disana, termasuk Vano. Varo pun sudah berjanji akan datang setelah match-nya selesai.
"Val, selamat ya. Pamerannya sukses, semua tamu beneran seneng banget kayaknya" ujar Raka yang tiba - tiba menghampiri. Dirinya datang bersama seorang pria, sepertinya itu papa dari Raka.
"Oh iya, kenalin ini papa. Papa, ini Vale. Teman dekat Raka di kelas. Dia juga yang menjadi ketua pelaksana pameran ini. Yang papa lihat proposalnya beberapa hari lalu" ujarnya panjang lebar. Vale langsung menundukkan badannya, memberi gestur hormat. Kemudian mengulurkan tangannya pada papa Raka
"Salam kenal, om. Saya Vale"
"Saya papanya Raka. Senang rasanya Raka berteman dengan anak aktif dan cakap seperti kamu. Saya sangat menikmati pamerannya, semua display disini menarik. Semoga lancar sampai akhir ya nak Vale"
"Terima kasih banyak om. Silahkan dilanjutkan berkeliling" ujarnya sembari membungkuk kembali
"Gue temenin papa dulu, bye" ucap Raka kemudian berlalu menyusul sang papa. Melambaikan tangannya kecil, yang dibalas lambaian tangan juga oleh Vale. Tak lama, bunda dan ayah menghampiri. Keduanya memeluk hangat Vale
"Kakak, selamat ya.. Sukses besar ini pamerannya" ujar Ratna
"Bundaaaa hehe makasih banyak"
"Jangan kecapean loh yaa, inget. Bunda sama ayah keliling dulu oke?" Vale hanya mengangguk. Seingatnya, bunda dan ayah berangkat bersama dengan Vano. Namun hingga kedua orang tuanya itu berlalu, tak tampak kehadiran Vano. Kemana dah dia? Keliling duluan apa ya? Tadi perasaan ada.
Sesekali Vale berkeliling ke beberapa spot pameran. Bertanya pada pengunjung, serta beberapa panitia yang standby disana. Ia hanya ingin memastikan pameran ini berjalan dengan baik.
"Aman kak. Semuanya under control" ucap salah satu adik kelasnya. Vale mengangguk dan tersenyum, kemudian berlalu. Tak lama, muncul Varo menghampirinya dengan kondisi yang terlihat lelah. Tas ransel olahraganya ia bawa di pundak kanan. Rambutnya pun cukup basah oleh keringat.
"Dateng juga lo"
"Mau duduk dong gue, haduh capek banget" ujarnya sambil sesekali terengah
"Tuh disana" Vale menunjuk ke salah satu tempat yang memang disediakan untuk beristirahat para pengunjung. Varo menepuk kecil pundak sang kakak kemudian berlalu.
Hingga acara usai, ia sama sekali tak melihat presensi abangnya itu. Sempat ia bertanya pada beberapa orang, liat Vano nggak? Dan jawaban mereka pun serempak. Tak ada yang melihat Vano hari ini. Perasaannya cukup was - was entah kenapa. Setelah closing dan sedikit evaluasi—karena akan dibahas detail nanti ketika rapat rutin, Vale bergegas pulang. Meminta Pak Rudi untuk menjemputnya di depan gerbang sekolah. Keadaan saat itu sudah cukup sepi, mengingat ini sudah pukul sepuluh malam. Hanya ada beberapa orang panitia yang masih menunggu jemputan seperti dirinya, serta satu dua pedagang keliling yang berlalu lalang.
Di kejauhan, ia melihat Vano sedang berjalan. Tak tau arahnya ke mana. Vale penasaran, untuk apa abangnya itu pergi ke arah yang berlawanan dengan arah rumah mereka? Maka dengan langkah yang cukup lebar, ia mendekati abangnya itu sambil sesekali memanggil namanya. Namun Vano tetap saja berjalan. Panggilan dari Vale sama sekali tak ia gubris.
"Abang woi! Vano! Budeg apa ya ini orang" gerutunya. Ia sedikit berlari untuk mengejar Vano. Terlihat Vano kemudian berbelok ke sebuah jalan. Vale sempat terheran dibuatnya. Pasalnya, ia tak tau sama sekali akan mengarah ke mana jalan itu. Lagi pula, penerangan disana cukup redup. Hanya lampu jalan kecil yang meneranginya.
"Dih dia ngapain kesitu? Aneh banget dah"
Ia berjalan mendekat walaupun dengan perasaan yang ragu dan juga detak jantung yang berdegup kencang. Ponselnya bergetar, terlihat panggilan masuk itu datang dari Pak Rudi. Kayaknya udah nyampe nih, batinnya. Sambil mengangkat telpon dari Pak Rudi, ia terus berjalan menyusul Vano.
"Aku lagi ada perlu sebentar sama Vano, tunggu di mobil aja ya pak. Nggak akan lama kok"
"Hmm, bentar ya pak. Sambil ngopi aja dulu disitu hehe aku gak akan la—AAAAAAA"
Panggilan dengan Vale terputus begitu saja, diakhiri dengan teriakan dari sang lawan bicara ditambah suara ponsel terjatuh.
"Kak? Kakak halo?!"
Pak Rudi tentu saja panik. Ini sudah malam dan ia tentu tak mengetahui dimana Vale berada. Dengan tangan yang bergetar, ia menelpon Martin.
"P-pak, kak—ak" Pak Rudi tak bisa berbicara dengan lancar. Ia terlalu takut saat ini
"Kenapa pak? Ada yang salah? Bapak kenapa?" tanya Martin tak sabar
"Kakak hilang!!"
"Hah? Pak Rudi jangan bercanda"
"Ssa—ya nggak bercanda pak. Kakak tadi teriak, panggilannya putus. Saya nggak tau kakak ada dimana"
"Saya kesitu. Bapak jangan kemana mana"
Setelah menunggu beberapa saat dengan perasaan yang gusar, Martin, Ratna, beserta kedua anaknya datang menghampiri.
"L—loh kok? Abang?" Pak Rudi sungguh terkejut. Ia mendengar dengan jelas, Vale sedang bersama dengan Vano ketika ia menelpon tadi. Namun, apa yang ia lihat di depan matanya saat ini membuatnya bingung.
"Kenapa pak? Bapak kok kaget liat aku?" tanya Vano
"Bun, ada yang nggak beres" ujar Varo sambil menarik sedikit tangan Ratna untuk mendapatkan atensinya.
"Tadi saya denger banget kakak izin ada urusan sebentar sama abang. Saya nggak bohong pak!" Raut wajahnya semakin panik.
"Urusan apa? Aku nggak ada urusan apa - apa sama Vale."
"Yah, ayo cepet cari Vale!" seketika Varo berlari. Mengabaikan teriakan ayah dan bundanya. Perasaannya tak bisa dibohongi kali ini. Ketika sedang melihat kanan kiri untuk mencari sang kakak, ponselnya berdering. Panggilan masuk dari Raka. Segera ia angkat panggilan itu.
"Ka—"
"Gue udah tau. Vale lagi dalam bahaya. Lo harus cepet cari dia. Gue nyusul"
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Trouble
FanfictionGimana ya rasanya kalau kita punya kembaran yang beda - beda sifat?