Memaksakan Diri

1.4K 125 7
                                    

Terdapat 3 pos yang harus mereka lewati, setiap pos mereka disuruh mengambil satu buah lencana. Katanya. Kelompok Vale memilih Tristan untuk menjadi ketua, sedangkan Vano menjadi ketua untuk kelompoknya sendiri. Selain Vano dan Raka, ada 3 anggota lainnya yang bergabung dengan kelompok mereka. Fathan, Adli dan juga Robby. Mereka baru saling mengenal saat acara kemah ini berlangsung.

"Val, pokoknya apapun yang lo liat jangan kasih tau gue. Gue panikan anaknya" ujar Hari

"Gue juga sama. Pokoknya mah lo jangan bilang - bilang. Simpen sendiri aja. Takut." imbuh Rafli

"Guys, ini kita jalan aja belom tapi lo semua udah pada nethink. Trust me, we will be ok" tegas Tristan. Ingatkan Vale agar setelah acara ini selesai ia harus membelikan makanan mewah untuk teman barunya itu. Tangan Vale tiba - tiba digenggam Varo. Ia kaget tentu saja. Apa yang dilakukan oleh adiknya ini?

"Gue tau lo juga takut. Ada gue, kak" Vale tak menjawab apapun. Lidahnya terlalu kaku, bahkan hanya untuk mengucapkan kata iya. Mereka mulai menyusuri jalan setapak. Tak terlalu terjal, namun tak mulus juga. Banyak batu - batu besar di samping kiri dan kanan. Berbekal dengan dua senter yang panitia berikan, mereka terus saja memacu langkah. Mengikuti Tristan yang memimpin di depan.

"Tris, ini beneran kesini?" tanya Varo

"Di map sih gitu, salah jalan apa ya?"

"Serius lo? Nyasar kagak kita?"

"Nggak woi. Coba atuh liat nih, jalannya bener. Sama kayak di petunjuknya" imbuh Rafli

"Terus dimana pos nya ya?" monolog Vale. Ia mengamati situasi sekitar. Menengok ke kanan dan kiri. Ada banyak, banyak sekali hal yang ia lihat. Ia ingat betul ucapan Rafli dan Hari sebelum mereka mulai penjelajahan. Maka, sesuai yang mereka mau ia akan diam. Toh, semuanya tidak mengganggu.

"Val, udah jangan banyak nengok" Varo menarik tangan Vale agar anak itu mendekat. Merangkul bahu kakaknya agar bisa mengalihkan fokus. Beberapa puluh langkah ke arah kiri, mereka lihat beberapa orang panitia. Benar apa yang dikatakan Rafli, mereka berada di jalur yang benar.

"Malam kak, kita dari regu 7" sapa Tristan

"Oh ya. Kenapa ya?" ujar salah satu panitia, satu satunya panitia wanita disitu

"Kita dapet misi, buat cari lencana di setiap pos"

"Kalian yakin ini pos? Ada tulisannya gitu? Kayaknya gak ada ya" ujar panitia itu kembali, sambil clingak clinguk. Seolah sedang mencari sesuatu. Dih si tai ujar Vale kesal. Ia tak suka sikap senior yang seperti ini. Seolah mempermainkan dirinya dan teman - temannya

"Maaf kak, kita hanya ikuti jalur yang ada di map aja. Dan itu mengarah kesini. Sebelum tanjakan pertama, di dekat pohon mangga" jawab Vale kepalang kesal. Nada bicaranya pun sudah sedikit berbeda

"Oke kalau kalian nebak ini pos, kita anggap jawaban kalian benar. Terus kalian ini mau apa?"

"Sudah ketua saya jelaskan, kak. Kami disini ditugaskan untuk mengambil lencana" jawab Vale kembali. Tristan dibuat melongo, Vale sungguh sangat cepat tanggap.

"Kamu, siapa namanya?" tanya salah satu panitia laki - laki dengan rambut sedikit ikal dengan suaranya yang sedikit ngebass

"Vale, kak" jawabnya singkat

"Saya punya lencana yang kalian mau. Tapi saya nggak akan kasih itu secara cuma - cuma. Ada tugas juga yang harus kalian kerjakan" Ucapan laki - laki itu diangguki Tristan.

"Kalian lihat puzzle disana?" ujarnya sambil menunjuk sebuah puzzle di atas meja. Sedikit tersembunyi letaknya. "Kalian susun puzzle itu dalam waktu satu menit. Kalau gagal, kalian gak akan dapet lencananya"

Tristan beserta anggota kelompoknya segera bergegas menuju meja yang dimaksud. Mereka dikejutkan dengan banyaknya potongan puzzle yang harus mereka susun. Gila. Hanya satu kata itu yang muncul di kepala Vale.

"Ieu kumaha ngerjakeun na? Lieur kieu" ujar Rafli

"Apaan sih lo. Jangan bikin gue tambah mikir. Ngomong jangan pake bahasa Sunda ngapa. Males mikir dua kali ini gue" ujar Hari

"Ok first, kita bagi aja ya. Masing - masing fokus di bagian yang gue tunjuk aja" Tristan mengarahkan anggotanya untuk berfokus pada masing - masing satu titik. Ia juga melihat potongan puzzle itu tak sepenuhnya acak, masiu berpola. Setelah mendapat arahan itu, mereka dengan cekatan menyusunnya. Terlihat tangan Rafli dan Hari sedikit bergetar, menahan gugup yang mulai mencuat ke permukaan.

Satu menit berlalu begitu cepat. Mereka berhasil melewatinya meskipun dengan kegugupan yang mereka alami. Satu lencana telah tersemat di baju Tristan. Menandakan mereka telah melewati satu tahapan. Masih ada dua pos lagi di depan. Mereka harus bergegas.

.

Ketika sedang berjalan, Vale tiba - tiba menghentikan langkahnya. Ia meremat lengan baju Hari. Hari yang notabene mudah terkejut, seketika terlonjak

"Anjir, kenapa Val?" ia menolehkan wajahnya pada Vale

"Gue agak pusing. Bisa berenti sebentar gak?"

Mereka berdua memang berada di barisan belakang. Tiga lainnya sudah memimpin beberapa langkah di depan. Maka, segera Hari memanggil ketiga temannya itu.

"Woi, berenti dulu ini Vale pusing" ujarnya sedikit berteriak. Ketiga temannya itu langsung menghampiri Vale yang sudah terduduk lemas di tanah

"Kak? Lo masih sadar?"

"Sadar lah. Lo kagak liat ini mata gue kebuka?" jawab Vale masih sedikit nyolot namun dengan nada bicara sedikit lirih

"Yeh tolol. Gue nanya bener. Sesek nggak?" Vale menggeleng kecil. Ia menarik sedikit lengan bawah jaketnya, agar jari - jarinya masuk. Sengaja untuk menghalau dingin. Tristan berjongkok di samping Vale. Membuka satu botol air mineral, dan memberikannya pada Vale

"Makasih, Tris"

Vale menenggak air mineral itu sedikit demi sedikit. Setelahnya, ia memberikan air itu lagi pada Tristan

"Val, lo capek nahan ya?" tanya Varo. Vale mendongak, kemudian hanya mengangguk kecil seraya mengusap dadanya. Matanya mengerjap sayu

"Nahan apa cenah, Ri?" bisik Rafli pada Hari

"Mana gue tau. Gue juga clueless. Sama kayak lo"

"Kita break dulu sampe Vale mendingan. Val lo mau lanjut apa gimana?"

"Lanjut aja Tris, bentaran aja istirahatnya"

"Oke, yang lain istirahat juga ya. Masih jauh perjalanan kita"

Setelah beristirahat kurang lebih 15 menit, mereka melanjutkan perjalanan. Pikiran Vale sudah buyar, tak lagi sefokus ketika awal perjalanan. Ia berada di baris belakang bersama dengan Varo dan Rafli.

"Raf, gue udah nggak sanggup. Tenaga gue abis" bisik Vale

"Duh, gimana ini teh? Varo gimana??" panik Rafli. Selama ini, ia belum pernah mempunyai teman dengan kemampuan spesial seperti Vale. Tentu saja ia bingung.

"Tris, Vale kayaknya gak bisa lanjut" ujarnya pada sang ketua kelompok. Membuatnya dan juga Hari langsung menoleh ke belakang. Vale sudah kepayahan. Nafasnya kian tak beraturan.

"Val, keep calm okay?" ia berujar semampunya, untuk menenangkan Vale

Beruntung, tak lama tim patroli panitia datang. Dengan segera, Tristan melambaikan tangannya. Meminta orang tersebut menghampiri mereka

"Dia kenapa?"

"Kecapean kak, sesek nafas. Ada oksigen nggak?" sigap Varo. Panitia tersebut mengangguk. Dengan cepat ia mengeluarkan beberapa peralatan yang dapat menunjang nafas konstan Vale. Dibantu dengan Varo yang sudah pernah mengalami hal ini beberapa kali dalam hidupnya. Sedangkan ketiga teman lainnya hanya terdiam. Shock. Otak mereka masih sibuk memproses kejadian yang ada di hadapannya.

"Saturasinya masih belum naik, kita bawa ke tenda aja" ujar panitia itu. Kemudian, ia menghubungi rekannya yang lain menggunakan walkie talkie. Tak lama, bantuan datang. Vale ditandu menuju tenda kesehatan. Mereka akan menyusul Vale, sebelum tangan Tristan mencekal tangan Varo cukup kuat. Varo mengernyit, tak paham apa yang dilakukan teman barunya itu

"Lo hutang banyak penjelasan ke gue"



Triple TroubleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang