Sampai di unit gawat darurat pun Vale masih belum sadar. Perawat dengan cekatan memberikan oksigen tambahan untuk Vale. Dokter mengecek tanda - tanda vitalnya dengan cepat, ia sedikit menggeleng. Terlihat raut panik di wajahnya meskipun sudah terhalang masker.
Vano tak bisa berpikir jernih. Suara yang ia dengar terasa samar. Semakin lama, hanya dengungan keras yang sukses memekakkan telinganya. Pandangannya kabur. Ia masih bisa melihat bayangan adiknya—Varo yang melambai - lambaikan tangan di depan wajahnya. Ah, adiknya ini sedang mengecek fokus pandangannya. Ia berusaha fokus, ingin segera melenyapkan kabut - kabut yang menyelimuti matanya. Namun, ia tak bisa apa - apa. Badannya seketika luruh ke lantai. Ia tak mengingat apapun.
"Van.. Van.. Woi abang!!"
Varo sebisa mungkin menyadarkan kakaknya. Rafli berinisiatif memanggil perawat lain, untuk membantunya membawa Vano masuk ke ruangan yang sama. Dan Varo pun sama, dibuat tak berdaya. Ia mendudukkan dirinya di kursi tunggu. Menyandarkan punggung tegapnya disana
"Var.. Tenang ya.." Tristan berucap. Ia tau, tak akan mudah menghadapi hal seperti ini. Kedua kakaknya berada di ruangan gawat darurat dan itu merupakan hal yang buruk. Sangat.
"Tris.. G-gue harus ap-a?" Ucapnya bergetar. Tristan tak enak hati. Menariknya dalam pelukan memberikan usapan - usapan kecil pada Varo sebagai pertanda bahwa ia tak sendiri.
"Ada gue, ada kita - kita. Kita pernah lewatin ini, sekarang juga sama. Be strong, oke?"
Raka, Rafli dan Hari tak banyak berkomentar. Melihat Vale tumbang seperti itu, kemudian disusul oleh Vano hanya beberapa saat setelahnya membuat mereka kalang kabut. Belum hilang dari ingatan mereka ketika mendengar Vale masuk ruang intensif dulu. Mereka mengerti, Vano pasti terkejut. Pikirannya pasti kembali mengingat saat - saat menegangkan itu.
"Gue mau cari makan. Mau pada ikut gak?" ucap Raka pada Hari dan Rafli
"Gue nggak deh" ucap Hari
"Yaudah gue yang temenin lo. Ri, lo temenin Tristan jaga Varo ya" dan Hari mengangguk.
Di perjalanan menuju kantin, Raka tak bisa menahan keinginannya untuk bercerita pada Rafli. Niatnya, dia akan bercerita ketika mereka sampai di kantin. Namun, ia tak bisa menahannya lebih lama.
"Raf, musuh ayahnya makin gila"
"Gila kumaha?"
"Vale udah kena, sekarang dia incer Vano"
"Hah?"
"Lo pernah denger Vale cerita nggak, tentang anak cewek pindahan?"
"Nggak tuh, apa guenya lupa ya?"
"Gue curiga, itu anak dari orang yang jahat sama ayah Martin"
"Tau darimana lo?"
"Lo inget nggak pas Vale pernah cerita sama kita - kita, kalo dia sama Varo pernah ditinggalin pulang sama Vano gara - gara dia nganterin itu cewek?"
"Hoo, inget aing. Yang si Vale bilang duitnya tinggal selembar?"
"Iya. Gue denger dari sudut pandang Vano. Dia bilang, awalnya cuma niat anterin aja. Tapi nggak tau kenapa pas udah sampe rumah dia kayak nggak sadar mau - mau aja diminta nunggu disana. Katanya, ayah sama ibunya emang belum balik. Makanya diminta nungguin. Padahal kan ada asisten, kenapa harus Vano coba? Yang jelas - jelas baru ketemu lagi setelah sekian lama"
"Lah mereka udah temenan?"
"Pas kecil, gue tau dari Vale. Dibilang abangnya lagi PDKT. Kepo kan gue, pas ditanya orangnya siapa ya dijawab itu. Si anak baru"
Mereka sampai di kantin rumah sakit. Memutuskan untuk membeli menu nasi goreng —agar cepat. Kemudian, memilih salah satu bangku di dekat ruko nasi goreng tersebut. Duduk saling berhadapan.
"Gue ngerasa aneh. Pernah papasan sama itu anak, mukanya sama sekali nggak ramah sama gue. Pas gue bareng kalian atau salah satu aja dari kalian, dia ramah aja biasa. Tapi pas papasan sama gue doang, juteknya gila!"
"Muka lo kan begitu juga, jutek. Males kali dia ketemu lo haha"
"Emang harusnya gue cerita sama si Tristan aja udah. Dia paling waras" Rafli tertawa terbahak. Meminta Raka kembali menceritakan kisahnya itu. Raka juga bercerita kalau ia pernah melihat Celli mengikuti ketiga kembar itu. Namun hanya sebentar, terkesan hanya memantau. Tak menghampiri atau apapun.
"Mungkin lo ada benernya juga. Apa mungkin lo bisa liat juga ya kayak Vale? Jadi dia ngerasa terancam? Bisa jadi gak sih?"
Ucapan Rafli itu menyadarkan Raka. Benar juga. Celli pasti sudah mengetahui hal ini. Apa yang gue liat ngikutin Vale juga dari dia ya?
.
Selesai dengan makanan mereka, dengan cepat mereka kembali. Menuju ke ruangan rawat inap Vale. Syukurnya Vano hanya mendapat beberapa injeksi dan juga tambahan obat oral. Tak separah Vale. Sampai di ruangan Vale, semua penghuni kamar itu menoleh ke arah Raka dan Rafli.
"Buruan heh gantian, gue laper" ujar Hari
"Nih, kasian juga si Varo belom makan. Val, kita bertiga keluar dulu ya" pamit Tristan, kemudian pergi keluar dari ruangan itu. Disusul oleh Varo dan Hari di belakangnya. Vano sedang terduduk di sofa. Menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Kepalanya sedikit menengadah. Ia terlihat masih lemas. Raka memutuskan untuk duduk di dekat Vano. Sedangkan Rafli, menghampiri Vale.
"Baikan Val?" Vale mengangguk lemah
"Ini aja sih agak gatel. Infusnya beda apa ya sama yang biasa gue pake?"
"Bawel amat lo. Ntar juga nggak gatel, diemin aja jangan dimaen - maenin. Ayah bunda udah tau?"
"Udah. Tadi Varo telpon. Bunda lagi mau kesini, ayah tadi lagi ada meeting dulu bentar. Masalahnya urgent, emang sempet mau maksain kesini sih cuman gue bilang nggak usah. Orang gue udah baikan" Vale berucap sambil sesekali menahan pening di kepalanya. Tubuhnya masih belum bisa bergerak maksimal. Lemas.
"Baikan apaan, itu masih loyo begitu. Eh btw, lo liat apaan lagi sekarang? Makin ganas ya gue liat - liat anjir" ujarnya sedikit berbisik, takut.
"Gue aja kaget. Awalnya nggak ada apa - apaan. Pas gue masuk kamar mandi pun ya biasa aja. Pas nutup pintu, DUAR" Vale sedikit berteriak. Membuat Rafli yang notabene mudah terkejut pun sedikit terhuyung dari duduknya. Vale tertawa sekejap, cukup geli. Vano dan Raka pun ikut menoleh ke arahnya, namun kemudian abai ketika melihat Vale tertawa setelahnya.
"Reuwas anying" ujarnya sambil mengelus dada
"Lagian lo serius amat, Raf. Bukan lagi remedial ini"
"Ya kan gue lagi fokus dengerin cerita elo, kumaha siah ih"
"Ya, pokoknya pas gue di dalem itu yang ngikutin gue berulah. Ngeliatin wujudnya, lo tau? Dia udah mulai main fisik ke gue" Vale memperagakan dirinya dicekik di dalam sana. Ia juga memperlihatkan sedikit rona merah di belakang lehernya. Rafli bergidik, tak mau membayangkan hal itu karena ia pikir itu terlalu horor.
"Makanya kan gue sampe pingsan begitu. Untungnya pintu belom gue kunci kan, pas gue jatoh ya bisa ketauan. Coba kalo udah gue kunci, apes dah"
Vale terus saja bercerita pada Rafli, tentang pengalaman - pengalaman mistis yang pernah ia alami. Disisi lain, Raka berucap pada Vano
"Lo harus mulai jauhin Celli sekarang. Buat keselamatan lo, sama adek lo"
Makasih semuanya yg masih baca ceritaku. Maaf kemarin - kemarin slow update bgt huhu. I'll try harder! See you👋🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Trouble
FanfictionGimana ya rasanya kalau kita punya kembaran yang beda - beda sifat?