Di tengah hari yang terik, ketiga bersaudara itu sedang duduk santai di halaman belakang rumah sambil bermain game online. Sejujurnya, diantara mereka hanya Varo yang mahir. Bahkan Varo sering secara terang - terangan berucap ah lo semua noob. Gue males. Yang berujung dia pergi ke rumah Yugi atau Jerry demi mencari rival yang sepadan.
"Lo semua pengen seblak gak sih? Enak banget tengah hari gini makan seblak. Apalagi minumnya lemon tea. Udahlah mantep" ujar Varo
"Jangan yang extreme gitu deh makanannya. Vale kan gak kuat pedes" timpal Vano
"Eh, kenapa jadi gue. Santai aja lagian, lo mau pada beli seblak ya sok mangga. Paling nanti gue order yang lain"
"Ah nanti kan ongkos ojolnya jadi double dong nyet"
"Yeu kambing. Ya kalo gue gak bisa makan pedes mau gimana? Mau gue diare?!"
"Vale mulutnya.. Gak boleh sembarangan" Vano sebisa mungkin melerai sebelum perdebatan semakin panjang dan tak terkendali
"Hehe maaf ya abanggg" rayu Vale, takut sekali abangnya itu marah. Orang pendiam dan santai seperti Vano akan sangat menyeramkan jika marah. Ia tak mau mengulang kesalahan yang sama, ketika ia secara tidak sengaja menjatuhkan salah satu koleksi lego milik Vano beberapa tahun silam. Ia mengalami silent treatment dari abangnya itu. Entah berapa lama, mungkin hingga satu bulan. Dan ia tak mau hal itu terjadi lagi. Ia akan sangat kesulitan dalam berbagai hal, terutama belajar dan berlindung dari serangan jahil Varo.
"Lo kalo mau seblak, pesen aja. Gue juga mau. Nanti Vale beli yang lain aja, biar gue yang bayarin juga ongkosnya"
"Vano, lo beneran bagai malaikat buat gue. Penolong di setiap situasi sulit" kedua tangan Vale mengepal di depan dada, matanya seolah memancarkan cahaya bintang. Ia menatap Vano dengan tatapan lucunya. Vano hanya mengangguk kecil sambil tersenyum kaku, agak geli juga sebenarnya menghadapi tingkah absurd adiknya ini.
"Vale, diem nggak lo!"
"Apaan sih Var?"
"Geli tau gak liatnya"
"Ya jangan diliat lah. Repot banget lo"
"Ya keliatan anjing, gimana dah caranya gue gak liat?"
"Ya tutup aja matanya, bodoh!"
"Elo bodoh!"
"Elo lebih bodoh!"
Nah, kan. Sudah Vano duga. Dua adiknya ini entah kenapa menunjukkan rasa sayangnya dalam bentuk yang kelewat aneh.
"Ssst. Udah - udah ya adek adek gue yang manis dan baik. Cepet pesen, Vale lo juga kan belum tau mau beli apa. Nanti datengnya lama, lo kelewat laper ntar"
"Okay!" ujar keduanya kompak.
.
Saat ini, semua makanan sudah sampai. Varo dan Vano yang membeli seblak, sedangkan Vale membeli batagor kuah. Vano menunggu di ruang keluarga dan kedua adiknya berjalan menuju dapur. Hendak memindahkan makanan ke dalam mangkok. Namun, tiba - tiba
"Var, gue nanti mau coba seblaknya yaa"
"Lah? Katanya lo nggak mau seblak gimana sih?!" jawab Varo dengan suara yang cukup keras
"Ssst. Jangan kenceng - kenceng. Lo jangan bawel, apalagi cepu"
"Cepu ke siapa?"
"Abang lo lah anjir, siapa lagi. Jangan sampe Vano tau kalo gue minta seblak, ya? Tadi gue acting doang kok ogah makan seblaknya. Padahal gue udah dari lama pengen itu seblak. Tapi gue nggak berani sama Vano. Lo tau sendiri dia galaknya kaya apa"
"Yaudah, ntar gue sisain deh. Gue pisahin ya nih ke mangkok biru" ujar Varo. Vale kemudian dengan cepat memeluk adiknya itu
"Kampret, diem dulu cok. Ini tumpah nanti repooot ah elah" Vale buru - buru melepas pelukannya. Tersenyum kelewat manis pada Varo.
.
Sore harinya, sekitar pukul 5 sore Vano keluar dari kamarnya. Selepas makan bersama tadi, mereka semua berpencar. Ia langsung menuju kamarnya untuk tidur siang sedangkan kedua adiknya ia tak tau apa yang mereka lakukan. Ia menuruni tangga, melihat rumah cukup sepi. Tak nampak presensi ayah dan bunda, juga kedua adiknya. Mbak Ani pun hari ini sedang libur. Ah, mungkin mereka semua sedang pergi membeli makanan ke luar.
Tak tau harus melakukan apa, Vano memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Sebelum masuk, sayup - sayup ia dengar Varo sedikit mengomel. Kok suaranya dari kamar Vale? Perlahan - lahan ia menghampiri kamar adik pertamanya. Ia melihat dari celah pintu, Varo sedang mengusap - usap perut Vale. Ia juga mendengar Varo berucap lagian lo tengil banget, segala kepo. Kan lo tau gue kalo beli seblak emang extra pedes. Aturan lo minta punya abang aja. Vano mengerutkan keningnya, loh? Vale kan gak makan seblak? Dia kenapa sebenernya?
Kemudian, Vano mengetuk pintu kamar Vale. Ketika ia masuk, Vale menyambut dengan cengiran canggungnya. Terlihat Vale mencubit - cubit kecil lengan Varo yang langsung dihadiahi tatapan tak suka dari Varo.
"Kenapa?"
Mereka berdua hanya diam. Tak ada yang mau menjawab pertanyaan si sulung.
"Ini gue nanya loh, kok kalian diem?"
"Ngomong lo anjir" desak Varo pada Vale
"Van, lo sayang sama gue kan ya? Hehe"
"I do. Kenapa lo tanyain itu?"
"Berarti lo nggak akan marah sama gue kan?"
"Buruan su ngomongnya, lama lo" geram Var
"Ya sabar!" sentak Vale
"Ini sebenernya kenapa sih? Vale kamu kenapa? Jujur aja"
"Van, gue tadi coba seblaknya Varo.." Vale menjawab dengan takut - takut
"And then?"
"Ya gitu deh hehe"
"Diare bang, tau gak lo? Ini gue ngusap - ngusap perut dia udah dari tadi. Sampe kebas tangan gue saking pegelnya"
"Ah sue lo, cepu!"
"Ya orang abang lo juga udah tau, cepu darimana gue tanya?"
"Kan kamu tau sendiri, nggak kuat makan pedes. Apalagi kamu makan punya Varo. Kamu emang sengaja cari penyakit"
Kamu? Vano pakai kamu? Wah udah gak ketolong ini mah batin Varo. Ia saja takut, apalagi Vale. Sang tersangka utama.
"Udah berapa kali ke airnya?"
"Sedikit kok bang hehe." Sungguh, melihat Vano dalam mode serius seperti ini membuat jiwanya ketar ketir.
"Bohong bang, nyampe 7 kali dia. Tiap detik bolak - balik terus"
Vano hanya menghela nafas. Ia kemudian menghampiri Vale, berjongkok di sisi ranjang tepat dihadapannya. Mengusap rambutnya halus.
"Mau ke klinik?" Nada bicaranya sudah tak semenyeramkan tadi. Vale hanya mengangguk. Sebenarnya, ia tak mau. Tapi kata - kata Vano barusan seperti mempunyai sihir tersendiri.
"Var, lo panasin mobil gih. Prepare diri sendiri juga. Nanti Vale biar gue yang bantu"
Varo pun sama halnya dengan Vale, hanya mengangguk patuh. Tak banyak membantah. Setelah Varo keluar, Vano beranjak menuju lemari Vale. Mengambil sweater abu abu dengan motif beruang kecil di kiri atasnya.
"Bangun dulu, pake sweaternya. Masih kuat bangun kan?" nada bicaranya menunjukkan bahwa ia terlewat khawatir
"Bantuin.." rengek Vale. Vano pun hanya tersenyum. Mengulurkan kedua tangannya untuk digenggam Vale. Sambil membantu adiknya memakai sweater ia kembari berucap
"Makanya lo jangan tengil" Vale hanya mengerucutkan bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Trouble
Fiksi PenggemarGimana ya rasanya kalau kita punya kembaran yang beda - beda sifat?