Vano.

1.1K 110 7
                                    

"'Maksud kamu apa dek? Kok tiba - tiba ayahnya Celli?" tanya Martin heran

"Nggak tau, perasaan adek bilang gitu. Ayah baiknya hati - hati aja sama dia"

"Nak, nggak boleh curiga gitu sama orang. Nggak baik loh" ujar Ratna menenangkan

"Bun, Vale juga ngerasain hal yang sama. Bunda nggak ngeh selama ini hal - hal aneh kayak gitu terjadi setelah abang kenal sama Celli?"

Martin dan Ratna hanya terdiam. Mempersilahkan si bungsu untuk menjelaskan semua hal yang ia tau mengenai keadaan kedua putranya yang lain. Tentu saja mereka kaget, sulit untuk memvalidasi kebenaran dari ucapan anaknya itu.

"Adek bukannya nuduh ya bun.. Yah.. Tapi ini orang udah keterlaluan. Aku nggak mau Vale sampe kenapa - napa. Aku sayang sama kakak aku, sayang abang juga" ucapannya terdengar sedikit putus asa. Varo itu tipikal orang yang jarang mengungkapkan perasaannya secara gamblang. Namun lihat. Kini ia terang - terangan mengutarakan rasa gundah di hatinya yang ia pendam sekian lama.

"Udah ya dek, bunda paham. Nanti kita cari jalan terbaiknya ya"

Mereka semua berakhir di kamar Vale, menemaninya sampai tertidur lelap. Mode manjanya sedang on. Tak bisa ditinggalkan begitu saja, apalagi oleh sang bunda.

"Bunda.. itu abang ya yang di pintu? Kok diem disana? Ajak kesini bunda" racau Vale. Padahal, abangnya itu berada persis di belakang Ratna. Bukan di depan pintu seperti yang Vale ucapkan. Ratna mendongakkan kepalanya. Menatap Martin yang berada di sisi lain tempat tidur Vale yang hanya mengangguk. Seolah mengerti apa yang tengah terjadi pada anaknya itu.

"Sayang.. Udah malem, mau tidur sekarang? Mau bunda temenin? Nginep hm?" tanya Ratna dengan lembut seraya mengusap pelipis Vale yang sedikit berkeringat dingin

"Nginep aja. Mau ditemenin bunda"

Maka setelah itu, Ratna naik ke tempat tidur Vale. Memeluk dengan hati - hati anak tengahnya itu. Sedangkan yang lain, satu persatu meninggalkan kamar tidur Vale.

.

"Woi, ngapain lo sekolah?" tanya Rafli pada Vale. Ia sedang mengobrol santai dengan Raka di bangku depan kelas 2-A.

"Elo yang ngapain disini. Ini kan kelas gue" ujar Vale. Ia ikut duduk di samping Rafli. Vano dan Varo duduk di sisi kiri dan kanan Raka.

"Jawab dulu pertanyaan gue, ngapain lo sekolah? Katanya lo sakit semalem?"

"Sakit dikit doang elah. Lagian gue ada rapat lagi. Bentar lagi pameran lukis mau mulai kalo lo lupa."

"Kan ada wakilnya Val? Lagian alesan lo nggak hadir karena sakit kan mereka pasti terima" ujar Raka

"Udah gue bilangin Ka, dari tadi di rumah. Sampe pegel mulut gue gara - gara ngocehin dia" jawab Varo.

"Dek, jangan maksain ya" saran Vano

"Iyaa, puyeng dikit nggak ngaruh"

"Nggak ngaruh jidat lo. Dah gila ni anak" pungkas Rafli.

Sepulang sekolah, Vale langsung bergegas menuju studio seni rupa. Pameran ini akan diadakan dalam satu minggu ke depan. Tentu kesibukan Vale akan bertambah karenanya.

"Kev, udah aman kan ya semua? Tinggal kita atur aja nanti lukisannya di H-2 ya. Buat yang lainnya ada kendala nggak Kev?"

"Nggak ada kak. Kemarin aja sih trouble masalah konsumsi. Tekor ngitung kita kak"

"Loh kok bisa?"

"Nggak tau, gue udah make sure berkali - kali. Tapi ya tetep nombok. Beberapa peserta ada yang double konfirmasi. Ada juga yang ganti - ganti. Bilang mau dateng terus tiba - tiba bilang nggak. Jadi selisih terus. Gue rencananya mau pake dana cadangan, is it okay?"

"Iya, pakai aja. Atur semuanya sama anak konsumsi sama bendahara. Jangan sampe miss lagi. Kita harus simpen uang itu baik - baik. Gue belum dapet sponsor extra soalnya"

"Got it kak. Btw, lo udah makan?"

"Udah, kenapa Kev?"

"Nggak apa - apa sih, muka lo agak pucet kak. Jangan kecapean ya, tenang ada gue hehe. Yaudah gue lanjut kerjain yang lain kak. Bye" ia menjauh seraya melambaikan tangannya, dan Vale membalas dengan lambaian tangan juga disertai senyuman.

Bel pulang sekolah pun berbunyi. Vale melihat kakaknya sedang terburu - buru membereskan alat tulis beserta bukunya ke dalam tas.

"Kemana?"

"Celli. Minta ditemenin beli buku. Lo sama Varo pulang duluan aja ya dek" Oh, jadi ini alasan dia bawa motor. Pantesan nolak pake mobil bareng gue sama Varo

Setelah semua barangnya rapi, ia dengan cepat melesat keluar ruang kelas. Varo yang baru menyadari Vano sudah tak berada di kelas pun heran, kemudian bertanya pada Vale

"Abang kemana? Kok udah ngilang aja?"

"Celli"

"Si tolol. Itu anak nggak ngerti - ngerti ya dibilangin. Muak gue"

"Udah ah. Yuk balik. Gue masih ada kerjaan nih, mau langsung ngedit." Vale dan Varo kemudian berpamitan pada teman - teman sekelasnya, termasuk Raka. Temannya itu berpesan agar mereka hati - hati di jalan.

Di perjalanan pulang, Vale tak henti - hentinya melihat ke kursi belakang melalui spion dalam mobil. Lirikannya cepat dan ragu - ragu.

"Liat apa lo?"

"Nggak"

"Udah, nggak usah ditengok mulu. Liat ke depan aja. Biarin dia disana. Selama nggak ganggu yaudah diemin"

Sejujurnya Varo takut setengah mati. Namun, hanya ia yang bersama Vale saat ini. Ia meyakinkan dirinya sendiri untuk melawan rasa takut tersebut. Ketika Vale sedang membalas pesan dari sang bunda, tiba - tiba mobil yang mereka tumpangi berhenti mendadak dengan Varo yang membunyikan klakson dengan kencang. Mereka berdua sempat terantuk ke depan. Bahkan ponsel Vale pun terjatuh karenanya.

"Dek? Lo oke? Kenapa?" Vale mengecek keadaan sang adik. Matanya terlihat bergetar dengan nafas yang terengah.

"G-gue liat a-abang"

"Hng?" Vale langsung memusatkan pandangannya kedepan. Melihat ke sekitar pun, hasilnya sama. Nihil. Tak ada Vano disana seperti yang adiknya ucapkan.

"Nggak ada dek.."

"Ada kak. Dia nyebrang jalan tiba - tiba barusan. Makanya gue ngerem!" ujarnya yakin.

Vale menggenggam tangan sang adik. Memberikan beberapa kalimat sederhana untuk menenangkan perasaan Varo. Setelah menepi benerapa saat, barulah mereka melanjutkan perjalanan. Vale kembali melirik ke arah kursi belakang. Loh? Udah nggak ada? Kapan perginya?

Triple TroubleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang