Vale benar - benar tinggal di rumah, tentunya setelah ia mengeluarkan semua bujuk rayunya pada Martin dan Ratna. Sesuai dengan rencana awalnya, siang hari ia akan ditemani Mbak Ani. Sedangkan untuk malam hari, ia akan ditemani Pak Rudi. Lagipula hanya sebentar, keluarganya akan kembali pada Minggu malam. Hikmahnya, Vale bisa terbebas dari jahilnya Varo untuk dua hari kedepan
"Kakak baik - baik ya di rumah, jangan bikin repot Mbak Ani"
"Iyaa, ih. Bunda udah bilang ribuan kali, aku udah bosen dengernyaa. Udah hafal" jawabnya
"Dipegang loh ya janjinya" Martin menambahkan
"Iya, ayah. Lagian kan kalian cuma ke Bandung aja. Nggak ke Amsterdam"
"Ya emang lo mau ditinggal ke Amsterdam? Nggak ketemu Bergwijn nangees" ejek Varo
"Ya.. Kalo kesana gue ikut lah. Ya kali ketemu idola, guenya malah nolak"
"Pokoknya ayah titip ya, jangan bandel oke? Kalo ada hal penting langsung telpon ayah" pungkas Martin yang dijawab anggukan kepala oleh Vale
"Mbak Ani, Pak Rudi saya titip Vale ya. Mohon diperhatikan makannya juga, jangan sampai telat"
"Siap pak. Gampang itu" jawab Mbak Ani seraya mengacungkan jempolnya
"Yaudah kita berangkat ya, kakak baik - baik di rumah. See you baby bear" ujar Ratna
"Daaaaah baby beaaaar" kompak Vano dan Varo, sambil tertawa terbahak - bahak kemudian berlari keluar rumah. Sedangkan Vale mendengus kasar kampret banget, bocah sialan.
.
Sejauh ini tak ada hal yang aneh. Seperti biasa, Vale akan meminta untuk dibuatkan banyak sekali menu makanan yang ia lihat dari twitter.
"Besok kan masih bisa, kak. Jangan sekarang semuanya. Nanti nggak habis gimana?" ujar Mbak Ani
"Kan bisa mbak bawa pulang, Pak Rudi juga bisa bawain makanannya dulu ke rumah. Nanti balik lagi kesini nginep"
Mbak Ani tau, Vale hanya sedang 'lapar mata'. Ia sendiri tau kapasitas perut anak itu tak banyak. Malah lebih sedikit dibanding Vano yang juga jarang sekali mengambil makanan dengan porsi besar.
"Ya mbak yaa? Please?" mohon Vale. Apa boleh buat? Ia akhirnya menuruti permintaan Vale.
"Pagi ini bikin ayam goreng bawang putih dulu aja ya, nanti siang mbak bikin puding. Oke nggak?"
"Terus? Sup ayam makaroni nya gimana?" ujar Vale lesu
"Ya emang kakak mau makan semua? Nggak akan habis itu. Nanti mubadzir, nggak baik" sambung Pak Rudi. Ia mendudukkan dirinya di samping Vale.
"Tapi kan aku mau paaak"
"Ya kan masih ada hari besok, kak. Udah mbak, bikin ayamnya aja sama puding. Kakak mending bantuin bapak bersih - bersih kolam ikan. Ayo"
Vale menuruti Pak Rudi. Ia mengekor di belakangnya dengan malas. Langkahnya sedikit diseret. Beberapa kali juga ia tersandung sandalnya sendiri. Mbak Ani hanya menggeleng - gelengkan kepalanya. Ada - ada saja tingkah Vale ini, pikirnya.
.
Martin, Ratna dan kedua anaknya telah sampai di kota Bandung. Suasana sejuk seolah menyambut ramah kedatangan mereka. Eyang langsung terburu buru menghampiri mobil yang baru saja masuk ke pekarangan rumahnya itu. Menyambut dengan pelukan dan senyuman yang hangat. Sampai kemudian
"Lho? Vale mana ini?"
"Vale nggak ikut eyang, dia lagi kurang enak badan" ujar Varo
"Oalah, padahal eyang mau berbicara sesuatu. Tapi ya sudahlah, bisa lain waktu. Ayo ayo masuk, kalian semua pasti lelah di jalan"
.
Sore hari pun tiba. Jam digital di ruang keluarga menunjukkan pukul 17.00 dan sebentar lagi jam kerja Mbak Ani akan berakhir, digantikan oleh Pak Rudi.
Ketika Mbak Ani sedang mencuci peralatan masak, terdengar teriakan Vale dari arah kamarnya di lantai 2
"Eyaaaaaang!"
Dengan secepat mungkin, Mbak Ani berlari menaiki tangga. Membuka dengan kasar pintu kamar Vale dan menemukan Vale menangis tersedu melihat ke arah luar jendela kamarnya. Segera ia memeluk Vale, sambil berucap
"Kakak kenapa? Lihat apa?"
"Eyang mbaaak, eyaaaang" lirih Vale
"Iya kenapa? Eyangnya kenapa?"
"Aku liat eyang pergi kesanaa, dikejaar" Dikejar? Apa maksudnya?
"Tapi kan eyang nggak disini, kak. Ini juga tinggi, gimana kakak bisa lihat eyang dari sini?" lirih Mbak Ani
"Aku mau ke Bandung mbaaak, sekaraang" Vale berucap dengan nada yang terlampau pilu. Seolah mengiris relung hati Mbak Ani
"Kakak yang tenang ya, tarik nafasnya dulu pelan pelan. Ini kakak sesek nggak?" Ia mengusap usap dada Vale. Dapat ia rasakan jantung Vale berdetak tak karuan. Vale sedikit mengangguk. Mengeratkan pegangannya pada lengan atas Mbak Ani.
"Mbak panggil dulu Pak Rudi ya, kakak bisa tahan dulu? Sebentar aja nggak lama"
Maka setelahnya, ia menghubungi Pak Rudi dan memintanya agar membeli tabung oksigen portable di apotek terdekat. Terdengar reaksi spontan yang sama terkejutnya dari arah sebrang sana. Selesai dengan panggilannya, ia kembali melihat ke arah Vale yang masih sedikit menunduk. Ia meraih dagunya, mengangkatnya sedikit agar anak itu tak terlalu merasakan sesak.
"Ayo, mbak bantu ke kasur ya. Pelan - pelan aja berdirinya" titahnya. Vale pun menurut, hendak berdiri dengan kedua kakinya namun sialnya ia tak punya tenaga yang cukup. Kakinya terasa lemas bukan main. Mbak Ani menahan tubuh Vale, memapahnya sedikit menuju ranjang tidur Vale. Menyelimuti anak itu yang masih terlihat shock.
"Pak Rudi sebentar lagi sampe, mbak usap - usap ya kak biar nggak sesek lagi"
Di tengah usahanya untuk menetralkan nafas kacau Vale, Pak Rudi datang. Dengan cepat ia memberikan tabung itu pada Mbak Ani. Setelah disiapkan, ia berbicara pada Vale
"Kakak coba nafas pelan - pelan ya, hirup yang dalam. Oke?" Vale hanya mengerjap pelan. Ia sudah kehabisan banyak tenaga.
Beberapa semprotan telah diberikan. Pola nafas Vale juga sudah membaik, sudah mulai teratur. Tidak se kacau dan se berat tadi.
"Kakak istirahat ya, mbak temenin disini"
"Loh? Nggak jadi pulang mbak?" tanya Pak Rudi
"Nggak deh, pak. Kasihan Vale"
Ia kembali menatap Vale. Raut wajahnya sesekali menampakkan ekspresi menahan sakit. Entah apa yang anak itu rasakan, ia tak bisa mengetahuinya.
"Mbak apa nggak telpon Pak Martin aja?"
"Habis ini saya telpon pak. Nunggu Vale nya tidur dulu"
.
Vano tidak bisa istirahat dengan tenang. Sedari tadi, ia terus saja memikirkan adik pertamanya. Mencoba mengirim chat singkat pun sudah ia lakukan. Namun, hingga kini Vale tak kunjung membalasnya
"Bang, lo kepikiran Vale nggak sih? Kok gue tiba - tiba inget dia mulu ya" ujar Varo. Entah sejak kapan ia berada disini.
"Sama dek, gue juga. Dia gak kenapa - napa kan ya?"
"Udah lo chat belum? Imess gue gak di jawab"
"Ya sama, gue juga. Coba gue nelpon Mbak Ani deh mumpung belom balik"
Vano meraih smartphone-nya, mencari nama Mbak Ani disana dan langsung menelponnya. Setelah terdengar jawaban dari Mbak Ani, ia langsung bertanya to the point
"Mbak, Vale nggak apa - apa kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Trouble
FanfictionGimana ya rasanya kalau kita punya kembaran yang beda - beda sifat?