Di ruang kesehatan, terlihat Vale sedang tertidur akibat pengaruh beberapa obat - obatan yang ia terima. Kedatangannya cukup membuat petugas medis panik. Pasalnya, nadi Vale sudah sulit teraba. Keadaannya pun sudah terlampau lemas.
"So, what was that? Kenapa dia bisa sampe separah itu? Nggak mungkin dia cuma kelelahan biasa" tanya Tristan pada Varo. Kegiatan jelajah malam itu telah mereka selesaikan. Vano yang mendengar kabar tentang adiknya itu langsung saja menghampiri Varo, bertanya dimana Vale berada. Teman - teman yang lain sudah berada di tenda masing - masing. Sedangkan Tristan masih menunggu penjelasan mengenai Vale, anggota kelompoknya.
"Tris, lo kan udah tau Vale itu beda"
"Maksud gue kenapa dia bisa sampe kepayahan gitu?"
"Vale pasti nggak suka Tris kalo gue ngomong kayak gini. Kesannya nanti lo iba sama kondisi dia"
"Nggak. Dia temen gue, anggota kelompok gue. Dan gue harus tau semua hal yang menyangkut kondisi mereka selama disini. Mereka tanggung jawab gue Var"
"Ya tapi---"
"Explain. Now." ujar Tristan penuh penekanan. Entah kenapa Varo merasa seperti ia sedang berbicara dengan ayahnya.
"Iya, kayak yang lo tau Vale itu beda dari anak - anak ayah yang lain. Pas kecil dia suka keliatan ngobrol sama seseorang, tapi bunda nggak pernah liat orangnya. Padahal Vale jelas - jelas nunjuk ke satu arah. Entah gimana, makin kesini hal itu makin jarang terjadi. Kata bunda Vale udah biasa lagi, nggak terlalu banyak diganggu. Tapi akhir - akhir ini dia seolah balik lagi kayak dulu. Ngeliat yang kita gak bisa liat Tris"
Tristan hanya terdiam. Tak mampu mengeluarkan kata apapun. Ia hanya mengamati dengan serius ucapan Varo itu.
"Sempet belom lama, kita sekeluarga main ke Bandung ke rumah eyang. Vale ditinggal sendiri, dan lo tau? Dia tiba - tiba teriakin nama eyang histeris. Vano diceritain Mbak Ani waktu itu"
"Padahal eyang nggak disitu kan? Nggak masuk akal banget Var"
"Ya makanya itu"
"And then?"
"Ya terus kita pada langsung balik. Kata mbak, kejadiannya mirip kayak tadi, nafas Vale jadi keganggu. Kasian juga itu anak kalo udah sakit begitu"
"Oh God. Gue bener - bener nggak bisa ngomong lagi. Serem banget bro"
"I know. Eyang bilang ini rekan kerja ayah. Dia nggak suka sama jabatan yang ayah pegang sekarang, karena itu targetnya dia. Jadi mereka lakuin cara licik ini, nyerang ke Vale soalnya dia tau Vale punya kelemahan"
"Udah gila ini orang. Sakit"
"Gue sampe mikir emang ini orang nggak punya anak apa gimana. Tega banget lakuin hal kayak gitu sama kakak gue"
Tristan melihat kilatan emosi di manik Varo. Awalnya, ia mengira Vale dan Varo ini tak pernah akur. Tipikal Tom and Jerry. Namun, setelah mendapat penjelasan ini ia sadar. Varo menunjukkan rasa sayangnya dengan cara yang berbeda. Ia hanya bisa merangkul Varo. Memberi tepukan kecil pada bahu temannya itu.
"Dah sekarang lo istirahat. Kayaknya Vano bakal jagain Vale malem ini. Nanti kalian bisa tukeran sama kita - kita. Santai aja."
"Thank you, Tris"
.
Di tenda kesehatan, Vale sedikit demi sedikit membuka matanya. Yang pertama kali ia lihat adalah Vano yang tertidur dengan posisi duduk. Wajahnya tertunduk. Vale kemudian berusaha merain tangan Vano yang disilang di depan dada. Mengusapnya pelan hingga Vano terbangun
"Oh, sorry dek gue ketiduran. Butuh apa?" suaranya sangat serak, ciri khas bangun tidur
"Lo tidur di tenda aja bang.. Nggak enak tidur gitu" ujar Vale kecil
"Gapapa. Nanti lo sendirian gimana? Emang berani?" goda Vano
"Ya enggak.."
Vano tersenyum. Ia mengelus surai adiknya lembut. Kemudian bertanya
"Lo kenapa? Ada yang gangguin lo lagi?" Vale tampak ragu untuk bercerita. Tapi kemudian, Vano mengangguk kecil. Memberi isyarat pada adiknya itu untuk menceritakannya.
"Gue awalnya biasa aja, bang. Beneran. Banyak yang muncul pun gue bisa cuek. Karena mereka juga nggak ngapa - ngapain. Tapi pas di deket halaman yang agak luas itu, nggak jauh dari pos satu gue liat ada yang aneh. Awalnya cuma satu. Nggak jelas itu apa tapi kayak mata, sepasang. Warnanya merah nyala kayak pake laser"
Dasar. Adiknya ini memang tidak bisa diajak bercerita secara serius. Selalu ada saja kosakata tak terduga yang keluar dari mulutnya.
"Terus makin gue liatin, malah makin banyak. Dan itu semua ngarah ke gue. Mereka kayak marah, bang. Padahal gue udah nggak banyak omong sejak kesini. Gue tau , makanya gue wanti wanti diri sendiri"
"Terus, lo kenapa bisa sampe sesek gitu?"
"Nggak tau, bang. Kejadiannya cepet. Mereka seolah - olah nyamperin gue. Ngelilingin. Sampe gue bener - bener pusing, terus gitu deh sesek. Gue coba buat jalan, tapi malah makin nggak bisa. Makanya, gue bilang Rafli buat berenti"
Vano menundukkan kepalanya. Kemudian, menyugar rambutnya. Ia menghela nafas kasar.
"Lo balik aja ya? Udah nggak aman disini dek. Kita masih ada 2 hari sampe Minggu. Gue nggak mau lo kenapa - napa. Panitia pasti ngerti kok"
"Nanti gue gak punya cerita kemah abang.. Kalian berdua bisa tuker cerita, nanti gue nggak"
Jika sedang seperti ini, sifat adik dari dalam diri Vale seketika muncul ke permukaan. Seolah ia merupakan adik bungsu, menggeser posisi Varo.
"Ya terus maunya gimana? Mau tetep lanjut?"
"Mau.." cicit Vale
"Tapi lo sampe besok siang bed rest ya. Itu saran dari panitia. Sore nya lo bisa ikut acara sharing, sama malemnya puncak acara"
"Acara apaan bang?"
"Lah? Lo kagak baca jadwalnya?" Vale hanya menggeleng kecil. Dahinya mengkerut, dan sedikit diangkat. Vano menepuk kecik tangan Vale
"Makanya, punya jadwal tuh dibaca. Jangan ngandelin abang sama adeknya doang"
"Ih galaaaak. Gue lagi sakit inii harus dimanja"
"Dih najis. Eh btw nanti gue sama Raka bakal kasih kejutan"
"Apaan?"
"Ya nanti lah. Kan kejutan"
"Ya maksudnya kalian mau ngapaiin gitu?" ujar Vale kesal
"Pokoknya nanti deh"
"Dih. Gak jelas lo"
.
Besok paginya, Rafli menanyakan kondisi Vale pada Tristan
"Itu anak nggak ikutan jadwal pagi kan, Tris?"
"Nggak. Dia harus istirahat sampe siang. Sore baru bisa join."
"Bagus deh, biar dia istirahat. Gue tuh masih deg - degan kalo inget muka dia kemaren. Ah, panik pokoknya mah"
"Ya elo kan apa - apa dibawa panik, Raf"
"Ya itu gegara lo ya. Kalo lo nggak kasih tau ada kecoa, ya gue nggak bakalan heboh lah"
"Oh jadi itu kalian berdua? Sumpah kedengeran sampe kamar mandi bawah. Gue lagi mandi disitu" ujar Raka
"Ya dia nih, ngapain coba ngasih tau"
"Ya kan biar lo waspada, Raf. Emang mau pas lo mandi dia tiba - tiba ngerayap?"
"Sialan siah ngomongnya nggak di rem"
Tristan yang sedari tadi memperhatikan hanya terdiam. Oh, jadi seperti ini sifat teman - temannya? Ia tersenyum. It's gonna be fun!
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Trouble
FanfictionGimana ya rasanya kalau kita punya kembaran yang beda - beda sifat?