Karena demamnya tak kunjung reda, Vale terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit. 10 menit yang lalu mereka sampai di IGD dan saat ini sedang dilakukan pemeriksaan oleh dokter jaga.
"Kamu kecapean ini dek. Habis ngapain?" ujar dokter wanita itu
"Aku ikut kemah aja dok, dari sekolah. Tuh dua kembaran aku juga ikut tapi kok mereka sehat - sehat aja ya dok? Masa sakitnya diborong aku semua?"
"Kamu nih, bawel banget deh gemes. Harus rawat inap nih, mau ya?"
"Yah, pulang aja deh dok. Nggak mau nginep disini, takut" Bisa - bisanya ia masih menolak, sedangkan kondisinya sudah mulai melemah
"Takut kenapa? Nggak ada orang jahat kok disini"
"Kak, kamu nih aduh malu - maluin. Maaf dokter, anak saya sedikit rewel"
"Nggak apa - apa bu. Ibu boleh ke pendaftaran dulu ya untuk urus administrasinya. Kami sedang menyiapkan ruangannya" ucapnya sambil tersenyum ramah. Vale hanya cemberut. Ia tak suka.
"Bunda panggil ayah dulu ya. Kamu tunggu dulu disini"
"Ya aku kan nggak bisa kemana - mana bunda, tenaganya nggak ada" Suaranya semakin pelan. Ratna hanya tersenyum kecil menanggapi ocehan Vale. Mengelus rambut putra keduanya itu, lalu pergi ke luar untuk menghampiri Martin. Ia meminta tolong suaminya untuk menjaga Vale, sedangkan ia sendiri harus mengurus administrasi.
"Waduh, jagoan ayah tumbang satu nih"
"Bete ayah.." ujarnya kecil
"Lagi sakit itu banyak berdoa, jangan bete mulu kerjaannya"
"Ya ini nggak adil. Anak kembar kan apa - apa barengan yah.. Ini kok yang sakit aku doang? Licik banget.." lirihnya
"Sabar sayang.. Kamu lagi nggak vit aja ini badannya. 3 hari paling sembuh, oke?" Vale hanya menggeleng kecil. Sudah tak sanggup lagi bersuara. Pusing di kepalanya kian terasa
.Tengah malam, Vale terbangun ingin ke kamar mandi. Semuanya terlelap, kecuali sang adik yang sedang asik bermain game. Seperti de javu pikirnya.
"Varooo.." panggilnya pelan. Varo tak mendengar tentu saja, telinganya tersumbat earphone. Panggilan yang kedua pun sama. Dengan terpaksa, ia turun dari blankar sendiri dengan susah payah karena tubuhnya masih sangat lemas. Berusaha menarik tiang infusnya sendiri pun tak bisa. Alhasil tiang itu pun terjatuh, menimpa badan belakang Vale kemudian jatuh ke lantai. Varo yang melihat itu langsung menghampiri. Melepas earphone nya dengan cepat.
"Mau kemana sih? Tengil banget. Ini jadi ketarik liat" Tangan Vale sedikit mengeluarkan darah.
"Gue mau ke kamar mandi. Lo di panggil gak nengok"
"Maaf gue lagi ngegame. Ayo dah gue anter. Pelan - pelan aja aduh anjing ngilu dah itu tangan lo" ujar Varo
"Nggak apa - apa, gak sakit sih"
Varo membantu kakaknya berjalan. Ketika hendak masuk kamar mandi, ada satu pemandangan yang tak ingin Vale lihat.
"Aduh.. Gak jadi deh"
"Kenapa?"
"Udah gak pengen hehe" Vale mengeluarkan cengiran polosnya
"Mana ada. Udah buruan, nanti keburu keluar tuh dari celana lo"
"Kamar mandi luar deh, disini bau"
"Bau apaan sih? Ini tadi baru dibersihin mas petugasnya belom lama"
"Y-ya pokoknya bau. Ayo ah cepet ke luar"
"Ya sabar dong ini tiangnya. Aduh repot banget sialan"
.
Dini hari kondisi Vale tiba - tiba drop. Suhu tubuhnya kembali meningkat, bahkan ia sempat mimisan dan berujung kehilangan kesadaran. Ratna yang melihat hal itu segera menekan nurse call dan perawat pun datang.
"Sus, tolong ini anak saya kenapa?!" ucapnya panik
"Ibu tolong tunggu di luar ya, kami akan melakukan pemeriksaan terhadap Vale"
Setelahnya suster itu berlari, kemudian kembali dengan seorang dokter jaga dan satu perawat lainnya. Raut wajah mereka kentara sekali panik.
"Ayah.. Vale kenapa yah.." racau Ratna
"Sabar ya bun, sabar"
"Vale tadi sempet bilang mau pulang kan sayang, kenapa jadi drop gini? Kasian dia ayah, ngeluh nggak enak tidur. Nggak nyaman" Hati Ratna seolah tersayat - sayat. Anaknya yang biasa mengoceh riang, kini hanya terkulai lemas. Matanya menutup, hingga bernafas pun harus dibantu dengan alat.
"Dek, gue nggak tega liat lo begini" ujar Vano. Begitu pula dengan Varo, yang menatap sang kakak dengan iba. Seolah bingung, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kondisinya tiba - tiba seperti ini? Suara roda yang berdecit dengan lantai rumah sakit menjadi pemecah keheningan. Blankar Vale didorong keluar, membuat yang lain cemas tak terkira. Ratna menghampiri dokter tersebut, menahannya sebentar sedangkan kedua perawat tadi membawa Vale menuju ruangan yang lain.
"Dok, anak saya kenapa? Dia mau dibawa kemana?"
"Vale mengalami syok, bu. Dari pemeriksaan fisik tadi, menunjukkan gejala Dengue Shock Syndrome. Kami harus memantau kondisinya secara intensif, karena beresiko mengancam nyawa. Saya permisi"
Setelah kepergian dokter itu, tangis Ratna kembali pecah. Ia meraung, memanggil nama sang anak tengah. Begitupun dengan Martin dan kedua saudara kandung Vale. Seolah tak percaya apa yang baru saja dikatakan oleh dokter. Apakah mereka sedang bermimpi? Mereka saling merangkul di depan pintu masuk ruangan tempat Vale dirawat tadi. Seolah sama sekali tak ada tenaga untuk beranjak dari sana.
.
Benar saja. Vale ditempatkan di ruang ICU. Tak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk menunggu, atau hanya sekedar menjenguk sebentar. Keadaannya sangat rentan.
"Ayah.." Varo meraih tangan sang ayah yang masih saja bergetar. Ratna sudah tertidur di pundak Vano, bundanya itu terlalu lelah menangis.
"Hmm?" Martin berusaha mengulas senyum. Ia kepala keluarga, sebisa mungkin harus tegar. Tak ada kata lagi yang Varo ucapkan. Ia lantas memeluk sang ayah erat. Ia menangis di pelukan sang ayah. Varo tipe anak yang jarang menangis. Ia adalah sosok adik yang kuat. Tapi kali ini ia tak bisa menahannya lagi.
"Dek, kalian harus kuat buat Vale"
"Dadaku sesek yah.. Vale lagi kesakitan"
Martin makin mengeratkan pelukannya pada si bungsu. Ia tau, ikatan anak kembar memang sangatlah kuat. Tak heran Varo sedikit merasakan apa yang saat ini tengah Vale rasakan. Saat ini mereka hanya menginginkan Vale kembali seperti semula, itu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Trouble
FanfictionGimana ya rasanya kalau kita punya kembaran yang beda - beda sifat?