Mendengar cucunya tumbang, apalagi salah satunya harus kembali menjalani rawat inap di rumah sakit membuat eyang semakin risau. Pasalnya menurut penuturan Martin, tindakan musuh dari anaknya itu sudah berani melukai fisik Vale. Dan sekarang ditambah orang tersebut mengincar cucunya yang lain.
"Vale gak apa - apa eyang. Ini udah baikan kok. Kayaknya besok aku minta pulang aja. Kemaren kaget aja itu, eyang nggak usah lebay ah" ujarnya melalui panggilan telpon
"Lho, nggak lebay nak. Eyang khawatir sekali pas dengar kamu pingsan kemarin. Masih sakit bekasnya?"
"Yaa ada sih eyang, ngilu - ngilu gitu. Perih. Tapi nggak yang sakit banget sih, biasa aja ini loooh"
"Abangmu gimana?"
"Dia juga baikan. Sekarang lagi sekolah. Ada Varo kok yang jagain. Eyang nggak usah khawatir yaa"
"Cucuku.. Vale.. Eyang boleh minta sesuatu?"
"Apa itu?"
"Pilih - pilih ya sayang dalam berteman. Kenal dengan siapa saja boleh, hanya kamu harus selektif kalau berteman. Ndak boleh sembarangan lho ya"
"Emangnya ada apa eyang? Kok tumben banget?" ujarnya sambil memainkan selang infus di tangannya, diputar - putar yang langsung ditepis kecil oleh bundanya. Ketika Vale melirik, mata sang bunda memicing ke arahnya yang dibalas cengiran lebar oleh Vale
"Ya.. Pokoknya diingat saja pesan eyang. Kamu juga, jangan berani kemana - mana sendiri lho ya sekarang. Harus kapok" eyang sedikit tegas dalam bicaranya kali ini
"Iyaaa. Eh eyang, ada dokter ini mau visit. Nanti Vale telpon lagi kalo abang sama adek udah pulang, biar rame. Dadaah eyaaang" Vale kemudian dengan cepat memutus sambungan telponnya. Terlihat salah satu dokter jaga didampingi satu perawat berjalan ke arahnya.
"Gimana Vale? Membaik kondisinya?" tanya dokter tersebut. Perawat di sampingnya pun sudah siap mencatat perkembangan kondisi Vale
"Membaik dok, baik bangeeet malah. 90% baiknya hehe"
Semua yang berada di ruangan tersebut terkekeh kecil atas tingkah spontan Vale yang mengundang tawa.
"Waduh haha bagus bagus. Boleh pulang ya besok. Ingat, jangan dulu capek - capek. Nanti saya resepkan obat pulangnya ya. Bunda mohon nanti untuk mengambil di apotek bawah" dokter tersebut beralih menatap Ratna yang dibalas anggukan kecil dan ucapan terima kasih.
"Saya permisi yaa semuanya"
Dokter dan perawat tersebut undur diri. Tinggal Vale dan juga bundanya disana. Bunda bertanya, apa saja yang tadi ia bicarakan dengan eyang uti. Vale menjelaskan kalau ia memang harus benar - benar memilih teman. Padahal kan, selama ini semua temannya baik. Ia masih kebingungan teman yang dimaksud eyang ini siapa?
"Mungkin teman baru kakak. Atau yang baru ketemu?"
Baru ketemu.. temen baru.. Oh? Jangan - jangan..
.
Di sekolah, Vano dan Varo jadi tak seperti biasanya. Mereka cenderung banyak diam, melamun, bahkan beberapa kali mereka tertangkap basah tak memperhatikan obrolan teman - teman di sampingnya. Terlebih Vano. Ia memang tidak se-berisik Vale dan se-iseng Varo. Namun kali ini lebih parah.
"Van, lo jangan diem aja kenapa dah. Jangan banyak ngelamun. Ngeri gue sumpah" ujar Hari
"Gue masih kepikiran adek gue"
"Sabar. Kita kan lagi cari tau penyebabnya apa. Dia aman kok, di rumah ada bunda juga kan jadi dia nggak akan sendirian" Tristan berusaha menenangkan
"Lo udah pikirin omongan gue pas di RS?" tanya Raka
"Omongan mana? Kok aing gak tau?" Rafli ikut menimpali. Pasalnya, waktu itu ia juga berada di ruangan yang sama. Ruangan rawat Vale.
"Yang gue omongin di kantin elah"
"Udah. Gue udah pikirin. Tapi nggak mungkin ini ada hubungannya sama Celli. Dia baik kok anaknya. Susah buat gue percaya kalo dia ada sangkut pautnya sama hal - hal kayak gini. Apalagi, dia temen kecil gue"
"Ya bisa aja gak sih? Lagian lo udah nggak ketemu dia lama banget. People change, bro"
"Nggak, gue masih belom yakin banget"
"Hhh.. Yaudah deh terserah lo aja. Gue udah wanti - wanti ya, gue takut Vale makin celaka"
"Ka, tahan - tahan. Jangan ngomong kayak gitu ah. Udah - udah" ucap Hari
"Tapi gue setuju sama Raka, bang." Varo akhirnya membuka suara. "Lo ngeh gak sih, sejak lo ketemu lagi sama dia kejadiannya makin aneh. Makin bahaya juga"
"Ya bisa aja kebetulan? Who knows?" Vano menjawab sambil sedikit memiringkan kepalanya ke kanan, dengan alis sedikit terangkat.
"Lo liat adek lo celaka begitu bang, di depan mata lo. Gue dari situ aja udah curiga sama dia. Dulu Vale aman - aman aja kan meskipun suka liat yang aneh aneh. Nggak pernah sampe terluka gitu. Sejak lo di deketin dia aja nih jadi chaos"
"Kok lo jadi nuduh dia begini dek?" situasi makin memanas. Keduanya mulai meninggikan nada bicaranya. Pun raut wajah mereka sudah tak setenang sebelumnya.
"Gue bukan nuduh. Banyak buktinya. Jangan tolol"
"Jaga omongan lo ya! Gue ini abang lo!! Sopan sedikit!!!"
Teman - teman yang lain tentu saja kaget. Vano tak pernah semarah ini, apapun kondisinya. Ia dikenal sebagai pribadi yang tenang. Tak ingin situasi lebih kacau, Varo memutuskan untuk pergi dari sana. Yang lain berusaha memanggil anak itu, namun tak dihiraukan.
"Raf, kejar Raf" pinta Hari. Maka Rafli bergegas menyusul Varo. Masih berusaha memanggil nama anak itu sesekali.
"Van, lo harus dengerin omongan adek lo" ujar Raka
"Lo juga? Mau ikut - ikutan nuduh Celli kayak gitu? Hah?"
"Nggak gitu, gue cuma ngasih tau aja. Dia bisa bilang kayak gitu karena tau dari gue"
"Jadi lo yang hasut adek gue buat nuduh Celli? Ngapain lo kayak gitu?" Nada suaranya tak setinggi ketika ia beradu argumen dengan Varo. Namun, dalam tone suaranya masih terdengar kesal. Seolah sedang meredam amarah yang bergejolak.
"Lo nggak lupa kan gue bisa liat juga? Van.. I can feel it. Gue ngerasain, gue liat. Lo mungkin nggak percaya kalo gue bilang kayak gini. Terserah. Tapi, kalo dia papasan sama gue, muka dia jutek banget. Kayak gue punya salah aja gitu sama dia. Padahal gue nggak pernah ketemu dia sebelumnya. Van, adek lo ngomong begitu karena dia takut, takut lo kenapa - napa. Takut Vale celaka lagi"
Vano termenung. Emosinya mulai reda. Timbul penyesalan dalam benaknya karena sudah membentak sang adik, yang selama ini tak pernah ia lakukan. Se marah apapun ia pada sang adik.
"Van.. Gue cuma mau lo sama Varo jaga - jaga. Buat lo, buat Vale, buat Varo juga" Tak mampu membalas ucapan Raka, Vano akhirnya pergi darisana. Entah kemana. Raka hanya menghela nafas lelah, menyandarkan tubuhnya pada kursi yang ia duduki. Beruntung ruang kelasnya ini — ruang kelas Vano juga, saat ini tengah kosong. Perdebatan yang terjadi di antara mereka tak diketahui siswa lainnya.
"Kita bakalan bicara pelan - pelan sama dia Ka. Biarin dia sendiri dulu" ucap Tristan, dan Raka hanya mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Trouble
FanfictionGimana ya rasanya kalau kita punya kembaran yang beda - beda sifat?