Melewati tiga hari dengan kondisi yang tidak stabil tentu bukan perkara mudah. Mereka hanya bisa berdoa dan berharap Vale akan segera pulih. Hari ini, eyang akan kembali bertolak ke Bandung, meskipun keadaan Vale masih belum sadarkan diri. Ada urusan yang mendesak, katanya.
"Kalian baik - baik ya, saling jaga satu sama lain. Jangan sampai kesehatannya menurun juga. Eyang pamit dulu"
Setelah berucap demikian, satu persatu keluarga kecil Martin menyalami eyang. Terakhir, eyang mendekat ke arah pintu kamar rawat Vale. Menatap lurus kesana. Tak ada sepatah kata yang terdengar dari mulutnya. Dalam sepersekian detik, tatapannya berubah jadi tajam nan menusuk. Tak ada yang melihat itu, kecuali Vano. Tak pernah seumur hidupnya ia melihat tatapan menyeramkan itu. Pun tak pernah terbayang, eyang yang begitu lemah lembut bisa mempunyai tatapan yang membuatnya takut. Dilihatnya, eyang memejamkan mata sambil tangannya menyentuh pintu tersebut. Eyang lagi ngapain?
.
Pukul delapan malam, eyang mengabari bahwa beliau sudah sampai di kediamannya. Ketika Martin sedang menerima telpon dari eyang, dokter jaga menghampiri. Ia meminta izin untuk menyudahi panggilan, dan merespon panggilan dari dokter itu.
"Pak, Vale sudah sadar. Tanda - tanda vitalnya sudah baik, namun masih dalam kondisi yang lemah. Jika ada yang ingin masuk, saya perbolehkan. Namun terbatas hanya untuk satu orang saja, dengan waktu sekitar 10 menit"
"Ya Tuhan, terima kasih banyak dok"
"Sama - sama. Jika ada hal lain yang diperlukan, silahkan untuk minta bantuan kepada perawat kami. Saya permisi"
"Yah Vale sadar??" tanya Vano. Martin mengangguk, mengiyakan pertanyaan anak sulungnya. Mereka semua kembali saling merangkul. Kemudian, Martin berucap
"Bunda mau liat Vale?" Dengan cepat Ratna mengangguk. Ia tau, sang istri ingin sekali bertemu dengan Vale walaupun ia juga memiliki keinginan yang sama. Namun, ia mengalah. Tak apa. Supaya Ratna bisa jauh lebih tenang.
Di dalam, Ratna menghampiri Vale dengan perlahan. Sadar ada yang menghampiri, Vale melirik pelan ke arah bundanya. Ventilator yang kemarin sempat ia pakai sudah dilepas. Digantikan dengan masker oksigen.
"Sayang.. Bunda kangen" adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Ratna. Mata Vale berlinang, dalam hatinya ia juga mengucapkan kalimat yang sama
"Maaf bunda baru kesini, maaf bunda baru bisa temenin Vale sekarang. Maafin bunda juga kemarin kamu harus berjuang sendirian kak.." Ratna tak bisa menahan air matanya. Tangannya menggenggam lembut tangan lemah Vale.
"B-bun.." ucap Vale
"Ya sayang? Kenapa?"
"Ak-u dimana?" tanya nya pelan
"Kakak masih di rumah sakit sayang. Mau bunda panggilin dokter? Ada yang sakit?" Vale hanya menggeleng kecil. Terasa genggamannya di tangan Ratna sedikit menguat
"Bunda belum bisa lama - lama temenin kakak, belum boleh sama dokter. Nanti kalo udah bisa pindah ruangan, bunda temenin 24 jam. Oke sayang?" Vale hanya mengangguk kecil. Sesekali matanya terpejam, menahan sakit yang entah berada dimana pusatnya.
Dua hari kemudian, Vale bisa dipindahkan ke ruangan rawat biasa. Kondisinya sudah mulai membaik, tenaganya sudah sedikitnya kembali. Pun ocehannya sudah mulai terdengar.
"Dek mau makan apa? Gue mau ke luar bareng Varo"
"Gue maunya ikut, nggak mau nitip"
"Sadar. Lo lagi pake infus begitu gimana mau ikut? Lagian kita mau pake motor. Lo mau duduk dimana?" ketus Varo
"Varo, jangan gitu ah sama kakaknya. Stroberi mau? Apa mau cheesecake?" tawar Vano
"Maunya ikuuut abaaaang ih" kesal Vale
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Trouble
FanfictionGimana ya rasanya kalau kita punya kembaran yang beda - beda sifat?