Varo sampai di depan gerbang rumahnya. Turun dari motor sportnya kemudian berjalan mendekati kunci slot gerbang. Ah, sepertinya sudah terlambat. Ia melihat gemboknya terkunci. Maka, ia menelpon Vale agar menolongnya membuka gerbang itu
"Maaf ini siapa ya?" ujar Vale dalam sambungan telpon
"Jangan bercanda. Buruan buka gerbangnya. Ini di luar gue kedinginan"
"Maaf ya mas, saya nggak kenal masnya"
"Vale! Bercanda lo gak jelas, cepet bukain" emosi Varo sudah mulai tersulut
"Coba bilang baik - baik, Yang Mulia Vale tolong saya bukakan pintunya" terdengar Vale tertawa terbahak
"Males"
"Ya sudah. Selamat bobo di luar adeeek" nada suara Vale semakin menyebalkan
"Vale, gue serius"
"Now or never"
Sumpah, saat ini yang ia ingin lakukan hanya memukul kepala kakak keduanya itu dengan sepatu miliknya. Ini sudah pukul sebelas malam. Udara semakin dingin dan Vale dengan santainya bermain - main seperti itu. Namun, ia tak punya pilihan lain. Malaikat penolongnya saat ini hanyalah Vale. Karena ia yakin, Vano sudah terlelap dalam tidurnya
"Yang Mulia Raja Vale, tolong saya bukakan pintunya. Saya mohon" lirih Varo mendramatisir. Habis sudah harga dirinya diinjak - injak Vale. Sedangkan, yang disebut yang mulia itu kembali tertawa kencang
"Baiklah, saya menuju kesana" sambungan telpon pun terputus secara sepihak
"Tobat dah anjir punya abang macem Vale. Ngelus dada terooss" Varo berteriak untuk menyalurkan rasa kesalnya. Hanya 2 menit berlalu, dari belakang terdengar suara langkah kaki. Vale, datang membawa kunci gembok gerbang rumah mereka
"Lama amat lo"
"Hng? Apa kamu bilang? Lama? Ck ck ck. Tidak tau terima kasih sekali adik manis ini" ia berkata sambil menggeleng - gelengkan kepalanya
"Kak, jangan kebanyakan drama ah. Buruan ini gue udah pegel dari tadi"
"Ya sabar, kan gue lagi mau buka ini. Lagian lo malem banget baliknya. Nggak takut apa?"
"Nggak, lagian jalan masih rame"
"Maksud gue, takut sama ayah" setelah berhasil membuka kunci, ia membuka gerbangnya. Menyingkir untuk memberi jalan pada Varo. Namun adiknya itu hanya diam, dengan ekspresi wajah yang kelewat kaget
"Cepet masuk, katanya lo pegel. Gimana sih?"
"Kak, beneran ada ayah?"
"Ya emang ada. Nggak jadi pergi hari ini katanya. Emang kenapa sih?"
"Kak, anjirlah.."
"Apaan sih??" alis Vale berkerut
"Motor gue baret. Tadi jatoh sedikit pas balap. Gue jelasin nya gimana ini pasti gue kena tanya banyak - banyak" Varo sedikit melakukan pout
"Hah? Serius lo jatoh? Tapi gak kenapa - napa kan??" Vale mengguncang badan adiknya. Mengecek kondisi tubuh itu dari depan ke belakang. Ia menghela nafas setelah adiknya baik - baik saja. Hanya terdapat sedikit robek pada celana dan jaketnya
"Untung lo gak kenapa - napa. Ayah pasti lebih ngamuk kalo lo sampe baret - baret. Yaudah yuk masuk"
.
Inginnya, Varo merebahkan tubuh pegalnya di kasur kesayangannya. Sambil melihat timeline twitternya, atau sekedar menonton channel olahraga favoritnya. Namun sialnya, ia terjebak disini. Di ruang keluarga yang entah sejak kapan berubah menjadi sebegini mencekamnya. Ditemani Vale di sampingnya, ayah menanyakan banyak hal. Benar prediksinya.
"Ayah tanya sekali lagi. Kamu abis balapan, betul?"
"Iya ayah.."
"Siapa suruh kamu balapan? Ada abang sama kakakmu suruh?" Varo hanya menggeleng kecil sambil tertunduk. Martin yang sedang marah besar memang tak ada tandingannya. Sangat menakutkan. Maka, Varo hanya bisa menuruti apa yang ayahnya katakan
"Mentang - mentang ayah sama bunda pergi, kamu seenaknya ikut balapan liar kayak gitu. Bagus sikap kamu kayak gitu, Varo?"
"Nggak, yah.."
Kemudian Martin melirik Vale, yang sama - sama tertunduk di hadapannya. Dengan kedua tangan saling meremat
"Kakak juga, adeknya balapan kenapa nggak dicegah?" sentak Martin
"Maaf ayah, Vale salah" ujarnya. Sontak hal itu membuat Varo menoleh. Tidak, Vale tidak boleh disalahkan atas semua ini. Vale tak tau apapun.
"Yah, kakak nggak salah. Aku yang ngotot mau balapan. Kakak nggak tau apa - apa soal ini"
"Nggak yah. Vale tau. Maaf Vale udah lalai jagain adek" Vale semakin menundukkan kepalanya. Ia merasa bersalah, tak bisa menjaga adiknya dengan baik
"Kak.." lirih Varo, tatapannya begitu sendu. Mengapa kakaknya melakukan hal ini? Mengapa ia tidak jujur saja kalau ia yang menjadi penyebab kekacauan ini.
"Vale nggak salah yah, aku yang salah" Vano berucap dari anak tangga kedua. Tadinya, ia hanya terbangun. Merasa tenggorokannya kering, ia beranjak untuk mengambil air dingin di kulkas. Namun, ia mendengar suara ayah yang terdengar marah dan kesal. Maka, ia segera menghampiri ayah dan dua saudaranya
"Vale nggak tau apapun. Dia tidur pas Varo berangkat, aku yang tau yah. Aku yang nggak cegah adek, aku yang harusnya disalahin. Bukan Vale" ia menghampiri Vale, mengusap punggung tangannya lembut. Vale mendongak, memperlihatkan wajahnya yang sedikit memerah dan matanya yang berkilauan akibat genangan air mata. Ia tau, sangat tau. Adik pertamanya ini sangat perasa. Ia segera memeluk Vale, memberi usapan kecil pada punggungnya
"Udah ya, Vale nggak salah. Abang yang salah nggak bisa jaga adek. Jangan nangis ya, nanti kamu gak bisa tidur" bisik Vano
Martin yang melihat hal itu pun seketika tersentak. Seolah jiwanya yang hilang telah kembali. Entah apa yang berhasil menguasai dirinya, hingga ia bisa meninggikan nada bicaranya pada anak - anaknya. Martin menghela nafas kasar. Ia tersulut emosi saat ini. Maka, ia segera beranjak kemudian berucap
"Ayah maafin kali ini. Jangan sampai kamu ulangi lagi. Obatin luka kamu sendiri, bunda udah tidur. Kasian kalau dibangunin, udah malem. Besok ayah sama bunda flight jam 6 pagi. Kalian baik - baik di rumah"
Martin benar - benar pergi ke kamar utama, menyisakan Varo yang duduk termenung dan juga Vale dan Vano yang masih dalam posisi yang sama. Saling memeluk satu sama lain. Varo kemudian mendekat, ikut memeluk kedua saudaranya itu
"Abang, kakak.. Gue minta maaf. Kalian jadi kena marah ayah karena ulah gue. Harusnya gue nurut sama abang tadi"
Vano memberi jarak, melepas pelukannya yang diikuti dua adiknya yang lain. Ia tersenyum kecil, kemudian berkata
"Gapapa. Ini jadi pembelajaran aja buat kita. Ayah sayang sama kita, dia pasti khawatir kalo kita ikut balap liar kayak gitu. Vale, udah dong kamu jangan nangis terus" ia kembali mengusap - usap punggung Vale. Anak itu masih sesegukan, matanya kian memerah
"Lo.. m-menang ga? Hiks.." ujar Vale terbata sambil melirik Varo
"Dari sekian banyak pertanyaan manusiawi, lo nanya itu? Ke gue, yang baru aja jatoh sama kena amuk ayah? Lo beneran kakak gue bukan sih?" Varo tak habis pikir. Dimana nurani kakaknya itu
"Ya jawab ajaaa. Menang nggaak?" rengek Vale
"Ya menang lah, lumayan dapet duit sejuta" Varo akhirnya menjawab. Kemudian menyandarkan tubuhnya pada sofa
"Yaudah besok beliin gue es krim stroberi yang banyak, 4 box"
"Nyet?? Lo mau jualan apa gimana?"
"Ya kan katanya lo dapet sejutaa"
"Ya masa beli sebanyak itu? Ngotak dong Valeee" kesal Varo. Sedangkan Vano di sampingnya hanya tersenyum kecut. Kedua adiknya ini bersikap seperti biasanya. Seolah kejadian yang baru saja terjadi tak pernah ada dalam kehidupan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Trouble
FanfictionGimana ya rasanya kalau kita punya kembaran yang beda - beda sifat?