"Dari rumah Celli ayah. Tadi kakinya sakit, terkilir. Jadi abang temenin dulu sampai ayah sama bundanya pulang"
"Sudah izin sama bunda?"
"Belum yah.." jawab Vano kecil. Jujur saja, ia sedikit takut dengan situasi saat ini. Terlalu mengkhawatirkan Celli sampai ia lupa memberi kabar pada orang rumah
"Mau kemana pun, izin dulu. Bundamu itu mondar mandir terus di ruang tamu, nungguin kamu pulang. Minta maaf dulu, samperin di kamar utama"
Vano hanya mengangguk. Kemudian berjalan menuju kamar utama. Sampai di depan pintu kamar, ia mengetuk pintu tersebut sambil memanggil bundanya. Tak lama, pintu terbuka menampilkan Ratna dengan balutan piyamanya. Sudah siap untuk tidur, mengingat ini sudah cukup larut malam. Vano memeluk Ratna lembut.
"Bunda, maafin abang nggak kasih kabar kalau abang di rumah Celli. Maaf abang bikin bunda khawatir"
"Ya ampun abaaang, bunda ini takut kamu kenapa napa lho. Adik adik kamu udah pulang kamunya belum"
"Maaf bunda.. Abang lupa"
"Jangan diulangi lagi ya. Bunda nggak mau pokoknya"
"Iya bunda"
Pelukan tersebut bertahan cukup lama. Ratna menumpahkan seluruh rasa cemasnya. Teringat dulu sang anak bungsu pernah terlambat pulang sekolah. Peristiwa itu cukup membuatnya panik setengah mati. Usai berpelukan, Vano mengucapkan selamat tidur pada Ratna dan bergegas menuju kamarnya.
Sampai di lantai atas, kamar pertama yang ia kunjungi adalah kamar Varo. Mengetuk pintu dua kali, kemudian masuk setelah mendengar sahutan adiknya dari dalam. Tampak Varo sedang asik bermain game online. Entah dengan siapa. Mungkin Yugi lagi. Anak itu harus mencoba mencari teman lain, batinnya.
"Kenapa bang?" Tanya Varo. Matanya masih fokus menatap layar ponsel yang dibuat horizontal
"Cuma mau ngecek aja. Maaf tadi ninggalin kalian. Maaf juga abang pulangnya telat"
"Sans aja kali. Gue ngerti lo lagi PDKT. Iya kan? Mana bisa lo lupa sosok Celli Celli itu" ia sedikit melirik Vano. Memberikan raut wajah menjengkelkan pada kakaknya.
"Jangan sotoy. Vale mana?"
"Di kamarnya. Udah mau tidur kayaknya"
Tanpa menjawab apapun lagi, Vano bergegas menuju kamar adiknya yang lain. Ia melakukan hal yang sama. Mengetuk pintu kamar adiknya terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam kamar. Tak ada jawaban dari dalam, maka ia langsung saja membuka pintu itu. Melihat adiknya yang sudah tertidur membuat Vano mengurungkan niatnya untuk menghampiri Vale. Ia menutup kembali pintu kamar Vale dan berjalan ke arah kamar miliknya sendiri.
Esok harinya ketika di sekolah, ketiga anak Martin ini dibuat heran dengan tingkah Raka. Ia ngotot ingin pindah ke kelas 2-A.
"Ngapain sih lo pindah segala? Udah tanggung ini udah tingkat 2" ujar Varo
"Ya suka - suka gue lah. Gue pengen lebih deket sama Vale. Iya nggak, Le?"
"Apaan anjir jauh - jauh lo sono. Ngeri banget"
"Aneh banget sikap lo, Ka" Varo berucap
"Ya pokoknya gue mau pindah ke kelas ini. Dan gue udah dapet izin. So, let's be friend guys"
"Males" kompak ketiganya.
.
Vano dan Raka sedang mengantri membeli makan. Hari ini giliran mereka yang membeli. Mereka semua menerapkan sistem ini, saling bergantian memesan makanan. Biar lebih cepat katanya.
"Ka, lo pasti tau sesuatu kan?"
"Hah?!"
"Tentang Vale. Lo pindah ke kelas gue biar 'deket' sama Vale kan?" Ujarnya sambil membuat tanda petik dengan tangannya ketika berucap dekat
"How did you know? Lo peka banget sumpah Van"
"Sejak kapan?"
"Apanya?"
"Lo peka juga sama hal - hal begitu"
"Udah dari lahir. Selama ini gue coba buat nggak mikirin adek lo. Tapi setelah kejadian dia sakit kemaren, gue langsung ngeh. Adek lo dalam bahaya"
"Bahaya gimana?"
Ketika menunggu Raka berucap, pesanan mereka telah selesai. Mau tak mau mereka terpaksa untuk mengakhiri percakapan itu. Namun, Vano masih saja bertanya dalam hatinya.
Memasuki jam pelajaran, Raka terus saja melirik ke arah Vale. Dan kegiatan itu pun disadari oleh Varo yang mejanya berdekatan dengan Raka. Berada di barisan kanan kelas. Sedangkan Vale dan Vano berada di barisan tengah, berjejer ke belakang. Varo melempar kertas kecil yang dibentuk bola. Tingkahnya itu berhasil membuat Raka menoleh ke arahnya
"Ngapain lo liat Vale?" Ucapnya tanpa suara
"Kepo" jawab Raka dengan suara yang sama
"Stres lo" Varo kembali fokus pada penjelasan guru di depan kelas. Begitupun dengan Raka.
.
Pulang ke rumah, ketiga anak Martin itu nampak lesu. Terlebih lagi Vale. Anak itu bahkan menyeret tas sekolahnya di lantai.
"Di angkat kenapa sih tasnya kak" ujar Varo
"Pundak gue masih sakit anjir"
"Loh belom sembuh juga?" Vale hanya menggeleng. Kemudian mendahului adiknya, menuju ke kamar pribadinya. Hal itu tak luput dari perhatian Vano. Ia jadi teringat obrolan yang ia lakukan bersama Raka tadi siang. Sadar dari lamunannya, ia melihat kedua adiknya sudah tak terlihat dalam jangkauan matanya. Ia pun mempercepat langkahnya menuju ke kamarnya.
Sore harinya, Vano mendapat imess dari Vale. Abang tolong pijitin gue dong, pundak gue sakit ini. Si bocil lagi ekskul basket. Tak menunggu waktu lama, ia menghampiri adiknya itu. Melakukan apa yang diminta Vale.
"Lo bawa buku berat banget kali. Atau posisi tidur lo nggak normal" ujarnya sambil memijat kedua pundak Vale
"Mana ada gue tidur aneh bang. Kan gue kalo tidur ya diem doang, nggak kayak si bocil"
"Ya siapa tau lo nggak sadar"
"Gak tau deh, ganggu banget ini sakit pundak. Aduhh abaang jangan kenceng kenceng ih sakiit" rengeknya
"Eh sorry gue kekencengan ya?" Vale mengangguk
"Pelan - pelan ajaa" pintanya. Maka, Vano menurut.
"Bang, ini perasaan gue doang atau emang bener ya tapi itu si Raka sering banget ngeliatin gue. Ya bukannya geer sih, tapi cringe aja gitu bang. Ngapain dah ngeliatin mulu"
"Ya mana gue tau. Tanya aja sama orangnya"
"Ah males. Masih sungkan gue"
"Lah kenapa dah? Dia aja SKSD sama lo"
"Ya pokoknya males aja dah. Belom akrab banget gitu"
"Makanya lo banyak ngobrol deh sama dia. Biar kagak canggung"
"Iya dah. Btw lo kemaren ngapain aja di rumah Celli? Pacaran ya lo?"
"Mana ada gue pacaran. Ketemu aja baru"
"Halah. Orang lo jomblo selama ini tuh nungguin dia kan? Ngaku aja"
"Kagak ya. Mana ada begitu"
"Si denial emang"
"Mau gue lanjut pijitin nggak nih? Gue balik kamar aja apa?" Vano menghentikan pijitannya pada pundak Vale
"Eh hehe iya abang maaf ya. Yuk lanjut yuk" Vale membalikkan badan. Meraih tangan Vano dan menaruhnya di kedua pundaknya
"Makanya jangan bawel"
"Iya abaaang"
Ia sendiri pun tak tau, mengapa ia sampai rela menemani teman kecilnya itu hingga larut malam. Seolah ia melakukannya dengan tidak sadar. Cepat - cepat ia menggeleng. Menepis segala kecurigaan dalam pikirannya.
Gak. Ini pasti cuma kecurigaan gue doang. Nggak mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Trouble
Fiksi PenggemarGimana ya rasanya kalau kita punya kembaran yang beda - beda sifat?