Masa Kecil Vano

1.3K 119 10
                                    

Pagi ini Ratna disibukkan dengan rutinitas baru. Mempersiapkan tiga kotak bekal untuk ketiga anaknya yang mulai bersekolah di taman kanak - kanak. Ia pula yang akan mengantar mereka, pun menunggu mereka hingga selesai pembelajaran siang nanti. Special, karena ini hari pertama. Ia harus memastikan anaknya bersikap baik dan sopan di sekolah.

"Bundaa, kakak nggak mau sayur.." ujar Vale

"Bunda udah masak buat kita, masa nggak dimakan. Kasihan bunda, nanti marah. Nggak masak lagi. Kakak mau makan apa hayo?" jawab Varo sambil menunjuk Vale dengan sendok bergambar Iron Mannya. Vale hanya diam, mendorong piringnya ke tengah meja kemudian turun dari kursi. Melangkahkan kakinya sedikit cepat menuju ke luar rumah.  Melihat adik pertamanya seperti itu, Vano yang telah selesai makan pun berinisiatif menyusulnya. Memastikan perasaan adiknya baik - baik saja di hari pertama sekolah.

.

Nyatanya, setelah sampai di sekolah justru perasaan Vano yang justru tidak baik. Malu, kesal, bingung bercampur menjadi satu. Bagaimana tidak, ketika anak - anak tersebut saling memperkenalkan diri tanpa disangka ada seorang anak perempuan memakai dress mocca selutut dengan bando senada berteriak ketika Vano sedang memperkenalkan diri

"Vano tampan sekali. Seperti pangeran di kerajaan"

Kalimat tersebut membuat wajah Vano seketika memerah. Ia tidak pernah mendapatkan pengakuan mengejutkan seperti ini. Ia sering mendengar ucapan 'Gantengnya nak Vale', ia memang mengakui itu. Tapi ucapan seperti itu untuk dirinya sendiri? Tak pernah ia dapatkan selain dari ayah bundanya. Secara tak sadar, ia langsung berlari keluar kelas. Mencari bundanya dan memeluknya erat

"Abang kenapa kok lari?"

Tak lama, seorang guru bername tag Dewi menghampiri mereka

"Vano, yuk kita ke kelas lagi. Teman - temannya sudah menunggu lho. Yuk, ibu temani"

Guru tersebut mengulurkan tangannya. Namun, Vano hanya menggeleng ribut

"Bu ini Vano kenapa ya?" Bertengkar kah dengan temannya?"

"Sepertinya nak Vano malu bunda. Ada yang memuji dirinya tampan, ia langsung bergegas lari keluar"

Ratna hanya tersenyum mendengarnya. Anak sulungnya ini sangat pemalu. Ia kemudian berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan Vano yang masih menundukkan wajahnya

"Abang kan memang tampan. Kenapa lari? Seharusnya abang mengucapkan terima kasih padanya. Tidak baik langsung berlari seperti ini" ia berucap sambil mengelus lengan sang anak

"Tapi dia perempuan bunda, itu aneh"

"Aneh bagaimana?" tanya Ratna penasaran

"Pokoknya aneh, abang malu"

Sekali lagi Ratna tersenyum dibuatnya. Tak lama, dua anaknya yang lain berlari menghampirinya. Kemudian, ia berucap

"Tuh, kakak sama adek sampe keluar juga cari abang. Ke kelas lagi ya, nggak apa apa.. Jangan malu, oke?"

Vale dan Varo yang baru saja tiba pun bergegas menarik lengan Vano di sisi kiri dan kanan

"Abang kenapa pergi, anak itu cantik tau" ujar Varo

"Iya, bagus kan kita punya teman yang cantik. Kakak mau juga berteman dengan anak yang cantik" imbuh Vale

Tak sadarkah mereka bahwa abangnya ini tengah dilanda rasa malu luar biasa?

.

Sampai keesokan harinya, anak perempuan itu masih saja mengikuti kemana Vano pergi. Kedua adiknya tak merasa terganggu sama sekali. Mereka justru senang, teman bermainnya bertambah satu orang lagi. Namun, tidak bagi Vano. Ia hanya akan diam, melihat kedua adiknya dan perempuan itu bermain sambil sesekali tertawa. Sampai suatu saat, ia tak melihat anak perempuan itu lagi. Ini sudah beberapa hari, dan anak itu tak kunjung datang ke sekolah. Dirinya diliputi rasa penasaran yang besar, hingga memberanikan diri untuk bertanya pada guru kelas mereka

"Ibu, anak perempuan bando itu kemana?" tanya Vano kecil

"Oh nak Celli? Dia sudah pindah sekolah. Ayahnya harus bekerja di luar kota, jadi dia harus ikut juga"

"Tidak lagi disini?"

Bu Dewi menggeleng pelan sambil tersenyum. Kemudian lanjut berkata

"Maaf ya, tidak sempat pamit pada kalian. Tapi, bundanya Celli menitipkan pesan. Semoga kalian bisa bersenang - senang di sekolah ini. Nanti bisa bertemu lagi dengan Celli jika sudah besar"

Secara tak sadar, ucapan Bu Dewi itu seperti tertanam di benak Vano. Ia harus menjadi anak yang baik, penurut, rajin dan juga berani. Dengan harapan, ucapan bunda temannya itu akan menjadi kenyataan..

.

"Woi abaaaang" Vale berteriak, persis di depan muka Vano. Ia kaget tentu saja, namun dengan cepat ia menetralkan ekspresinya

"Apa sih dek, ngomong pelan kan bisa"

"Lah? Elo nggak ngejawab gue daritadi. Malah ngelamun aja, mikirin apaan si? Ada mapel yang kena remedial ya?"

"Gue nggak kayak lo ya, enak aja"

"Yahh.. Kata - kata lo menusuk relung hati gue banget bang. Sakit" ia memegang dadanya, mengusap - usap pelan seraya memasang muka memelas.

"Drama terooos" Varo muncul tiba - tiba dari arah kanan. Menempatkan dirinya duduk di samping kanan Vano

"Diem lo nyet"

"Elo yang diem. Makin hari kelakuan lo makin nggak ketolong. Miris"

"Kok lo gitu sama gue??"

"Ya emang kenyataannya begitu, lo emang aneh Vale"

"Ih tau ah, kesel gue"

Vale menghempaskan dirinya kasar, tepat di samping kiri Vano. Varo sedikit bangun dari duduknya, menengok ke arah kakaknya itu

"Yeu, ngambek lo kayak bocah depan komplek"

"Bodo"

"Dih? Beneran ngambek anjir?"

"Lo nyebelin tau gak?" Vale pun menegakkan duduknya, menghadap ke arah Varo

"Apa sih? Lo lebih nyebelin"

"Kapan? Gue baik terus ya sama kalian"

"Alah, najis. Lo kan yang jail masukkin sikat gigi gue sama Vano ke kloset? Ngaku lo?"

Tubuh Vale menegang. Diliriknya Vano yang berada di samping kirinya. Tatapan abangnya itu sudah tidak bersahabat lagi. Mata sipitnya memicing, kerutan di dahinya semakin jelas terlihat. Vale hanya bisa tersenyum canggung, menampilkan deretan gigi kecilnya yang rapi. Kemudian, ia mengusap - usap dahi Vano sambil berkata

"Inget abang, nggak boleh marah ya. Tuh liat, ini nanti timbul kerutan, jelek. Nanti abang nggak ganteng lagi. Senyum oke? Nah sekarang aku mau pergi dulu ya. Ada pr, hehe. Adiooss"

Baru saja Vano akan menahannya, adik pertamanya itu langsung lari terbirit - birit mengarah ke tangga, menuju kamarnya. Varo yang melihat ada yang tidak beres pada abangnya mengendap - endap menjauh. Beranjak ke ruang tamu sebelum

"VALEEEE, SINI GAK LO"



Triple TroubleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang