Chapter 35 - Let It Flow

780 125 63
                                    

"Lo liatin apaan?" tanya Galang saat melihat Nuraga tampak terdiam usai menatap layar ponsel milik Galang membaca berita terkini mengenai nasib Presiden Latief. 

Nuraga mengembuskan napas panjang, lalu menatap ke arah Galang. "Aga harus gimana, Om?"

"Ya, kalau lo diminta untuk menjadi saksi, ya, jadilah saksi, Ga. Kebenaran, kan, harus tetap ditegakkan," jawab Galang.

"Bukan itu. Urusan Aga sama Ishna. Kok, dia mengindar, memang Aga ada salah apa sama dia ya, Om?"

Mendengar itu, Galang membulatkan matanya. Ia manahan tawanya seraya menatap Nuraga dengan tatapan mengejek. "Aduh, si bocil udah tumbuh dewasa. Udah kenal cinta lo, Cil?" ucap Galang seraya tertawa puas. 

"Iya, lumayan ada ketertarikan sama lawan jenis, daripada om. Takut-takut kalau ternyata hompimpa alahiyum gambreng," balas Nuraga seraya tertawa tak kalah keras.

Galang menatap malas seraya memutar kedua manik matanya. "Kampret, Lo! Ponakan macam apa yang ngatain om nya penyuka sesama jenis, dasar!"

"Habis, nggak ada satu pun perempuan yang jadi kandidat tante buat Aga. Nggak salah kalau Aga bilang begitu. Pergaulan om juga luas, duit ada, bisa aja om piara berondong," ucap Nuraga kembali seraya menahan napasnya.

"Wah, mulutnya nggak pernah di sekolahin! Gue doain lo ketularan jadi perjaka tua!"

"Sembarangan! Doain orang yang baik-baik, Gal!" tegur Kirana seraya menoyor kepala Galang. 

Galang terkesiap dan mengerjap beberapa kali. "Anak mbak yang ngatain aku duluan, Mbak," ucap Galang tidak terima.

"Nuraga nggak mungkin kurang ajar ngatain omnya kalau bukan omnya yang mulai!" ucap Kirana ketus.

Galang menatap Kirana tidak percaya. Sejak kecil, orang yang paling ia takuti hanyalah Kirana. Kedua orang tuanya saja tidak seberapa menakutkan jika sedang marah, tetapi jika urusannya sudah dengan Kirana, Galang lebih memilih diam. Daripada berakhir di bak mandi air es atau di banting bebas ke atas tanah.

"Ya, gue memang tempatnya salah," gumam Galang seraya mengusap dada bidangnya beberapa kali.

"Ishna mana, Ga? Mama belum sempat bilang terima kasih tadi," ucap Kirana seraya menatap sekelilingnya.

Nuraga mengembuskan napas pelan dan menatap Kirana dengan sorot memelas. "Udah pulang, Mah," jawab Nuraga singkat.

"Ada yang di campakkan, nih," goda Naraya.

Nuraga diam seraya menatap pasrah. Hal itu membuat Kirana mengernyit heran. "Dicampakkan gimana? Kalian nggak putus,kan?" tanya Kirana.

Nuraga kembali mengembuskan napas kasar. "Putus gimana, nyambung aja enggak, Mah," jawabnya sedikit kesal. 

Kirana tersenyum menatap wajah Nuraga yang tampak cemas itu. 

"Butuh mama dan papa turun tangan langsung? Kita datangi saja langsung rumahnya, kalau memang kamu sudah mantap sama dia, nikah langsung, Ga," ujar Airlangga seraya tersenyum.

"Eh, jangan! Kali ini Aga mau berjuang dulu. Oya, kayaknya, Aga harus menghadap Laksamana Dharmawan untuk memberikan laporan sekaligus mengucapkan terima kasih karena sudah membantu Aga  dan keluarga," ucap Nuraga pelan.

"Kalau begitu, papa ikut. Papa juga berhutang banyak dengan Laskamana Dharmawan," ucap Airlangga. 

Nuraga dan Airlangga akhirnya pamit undur diri. Kedua orang itu mengendarai mobil matic milik Airlangga menuju ke kantor  Laksamana Dharmawan. 

"Sayang sekali Jenderal Indra bernasib buruk. Kita sepertinya kecolongan," ucap Airlangga pelan. 

"Menurut papa, apa ada kemungkinan orang selain dokter jaga yang bisa masuk ke ruangan VVIP rumah sakit untuk memberikan racun pada Jenderal Indra?" tanya Nuraga.

GALVASKA √ TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang