Chapter 30 - Show Up

710 124 68
                                    

"Bom yang ada di Tjokro Tower berhasil meledak, Pak," ucap Irjen Adam memberikan laporannya.

Presiden Latief mengangguk dengan senyum sumringah di bibirnya.

"Malam ini saya bisa beristirahat dengan tenang. Sudah hampir di penghujung masa kepemimpinan saya. Paling tidak, saya bisa mempertahankan nama baik saya, " ucap Presiden Latief seraya meneguk teh hangat yang ada di tangannya.

"Besok, saya akan menghadiri acara talkshow yang di adakan oleh OneNews. Judul dari talkshow itu adalah The Great President Ever. Saya tidak ingin merusak judul itu dengan temuan-temuan memuakkan ini," ucap Presiden Latief seraya mengembuskan napas panjang.

"Urusan jabatan kalian akan saya pikirkan ulang. Untuk amannya, lebih baik sementara waktu terima posisi kalian sekarang hingga kasus ini reda. Setelah itu, saya akan kembali menempatkan kalian berdua pada jabatan yang tepat," ucap Presiden Latief tegas yang di sambut dengan sahutan siap oleh Jenderal Indra dan Irjen Adam.

Dilain tempat Nuraga menggendong dengan tangannya sendiri tubuh Ishna yang telah berlumuran darah. Beruntung, Bom yang meledak di gudang perlengkapan itu tidak memiliki daya ledak tinggi. Ishna sendiri memposisikan tubuhnya jauh dari bom yang awalnya ada di pangkuannya. Meskipun demikian, nyawa Ishna masih dalam bahaya. Tubuhnya penuh luka, pakaiannya tampak compang camping dan yang pasti Ishna tidak sadarkan diri.

"Tolong selamatkan dia, dokter saya mohon," ucap Nuraga saat ia berada telah sampai di rumah sakit pusat angkatan laut. Nuraga berjalan gontai mengikuti para perawat dan tim dokter yang bergegas membawa Ishna dengan brangkar ke ruang operasi. Hatinya mencelos saat seorang dokter tiba-tiba naik ke tubuh Ishna dan memompa dada Ishna sekuat tenaga karena detak jantung gadis itu berhenti.

Nuraga memandang nanar pintu ruang operasi yang baru saja tertutup rapat itu. Seketika pemuda itu ambruk di tempatnya. Ia menunduk dan menatap kedua tangannya yang tampak gemetaran.

"Dia pasti selamat, Ga," ucap Gavin seraya menepuk bahu sahabatnya itu.

Nuraga membuang napas kasar. Matanya sedikit berkabut. Ia menatap kedua tangannya kembali sebelum akhirnya menutup matanya. Bayangan saat Ishna memotong ketiga kabel itu masih lekat dalam ingatannya. Terlebih saat Nuraga melihat tubuh Ishna terpental dan akhirnya tertimbun barang-barang dan puing-puing gudang yang terkena imbas ledakan.

"Gue nggak akan memaafkan diri gue sendiri kalau dia sampai pergi," ucap Nuraga dengan suara bergetar. Nuraga menunduk dalam. Ia menangkup wajah dengan kedua tangan yang masih berlumuran darah milik Ishna.

"Harusnya gue yang ada di posisi dia, Vin. Harusnya gue yang mati," ucap Nuraga lagi.

"Lo jangan bilang gitu. Mbak Ishna itu memang cewek, tetapi dia punya fisik yang kuat. Gue yakin dia bisa bertahan."

Nuraga mengusap wajahnya dan mendongak menatap Gavin yang tersenyum tipis menatapnya.

"Makasih. Gue nggak nyangka, akhirnya lo bisa percaya sama omongan gue."

Gavin mendengus, lalu tertawa. "Awalnya gue nggak percaya, sialnya ucapan lo bener semua."

"Gue nggak tahu gimana caranya balas kebaikan lo itu."

Gavin tersenyum. "Gampang aja."

Nuraga mengernyit. Ia menatap Gavin dengan saksama.

"Izinkan gue jalan sama Nara," ucap Gavin setengah berbisik di telinga Nuraga.

Mendengar hal itu Nuraga segera membulatkan matanya.

"Sialan, lo! Nggak ada!"

"Yah, Ga. Gue udah nolongin lo sampai sejauh ini, lho. Nggak ada gue berkhianat sedikit pun."

GALVASKA √ TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang