Chapter 03 - Point of View

924 125 35
                                    

"Bagaimana perkembangan di lapangan, Ipda Ishna?"

Suara bariton itu mengejutkan Ishna saat dirinya sedang menelepon seseorang. Salah satu dari anggota tim investigasinya, Bripda Gavin yang baru saja menghubunginya, tetapi entah mengapa tiba-tiba terputus.

"Siap, izin, Ndan, semua masih dalam proses. Saya mencoba menyelidiki cctv di sekitaran lokasi kejadian. Hasilnya masih di susun, Ndan," ucap Ishna memberikan laporan kepada komandannya. Orang kepercayaan yang menjadi tangan kanan langsung Irjen Adam, AKP Keenandra Barsena.

"Masalah cctv serahkan sama saya. Lebih baik kamu pulang saja sekarang. Ini sudah hampir jam satu malam. Rumah kamu lumayan jauh, kan, dari sini?" tanya Keenan seraya tersenyum tipis.

Ishna mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya berujar siap. Ia kemudian pamit undur diri. Setelah mengambil jaket dan tas di meja kerjanya, Ishna memutuskan untuk pulang.

Ia mengendarai motor matic-nya keluar dari kantor Bareskrim tempat ia bekerja. Pikirannya justru tertuju pada lokasi penembakan tadi pagi. Niatnya untuk pulang pun buyar seketika. Ishna justru mengarahkan sepeda motornya ke arah tempat kejadian perkara upaya pembunuhan presiden pagi tadi.

Usai memarkirkan sepeda motornya, Ishna berjalan melewati batas garis polisi usai menunjukkan tanda pengenalnya pada petugas yang ada di sana. Tak lupa Ishna mengenakan kaos tangannya untuk kembali meneliti tempat perkara tersebut.

Ishna diam. Ia berdiri tegak tepat di depan pintu utama ruang pertemuan tersebut. Tempat di mana pelaku menembakkan senapannya. Ishna mulai menatap sekeliling tempat tersebut.

Ada beberapa gedung tinggi yang mengitari lokasi tersebut. Ishna menatap satu per satu gedung tersebut, ia mulai menganalisa masing-masing gedung. Menebak dan mengira darimana asal tembakan itu.

Tembakan ini berasal dari arah utara. Ada dua gedung di sana. Plaza Herritage dan Gedung Wijaya Bakti. Dua gedung itu sudah dikuasai tim pengamanan presiden. Lagipula jenis senjata yang digunakan juga berbeda. Anehnya, senjata sniper yang ditemukan AKP Keenan justru ada di balkon Bank Rakyat Nasional,batin Ishna.

Ia menatap ke arah balkon bank yang ia maksud. Jaraknya tidak terlalu jauh. Kurang lebih hanya tujuh ratus meter saja dari lokasi ini. Tempatnya juga tidak terlalu tinggi. Jika sniper menembak dari sisi itu bukankah akan terlihat? Lagipula, moncong senjata seorang sniper itu lebih panjang dari senjata serbu biasa. Jika moncong itu diletakkan di balkon, moncong senjatanya akan terlihat, batin Ishna seraya menatap balkon Bank Rakyat Nasional itu.

Ishna bergegas pergi dari lokasi tersebut. Cepat-cepat ia menuju ke Bank Rakyat Nasional dengan motornya. Lokasi bank tersebut hanya berjarak satu blok dari lokasi penembakan. Usai memarkirkan sepeda motornya Ishna segera masuk ke bank tersebut. Ia sengaja memberikan laporan dan tanda pengenal pada petugas yang berjaga di pos penjagaan bank tersebut agar diperbolehkan masuk.

Ishna segera berlari menuju balkon ditemani seorang satpam yang sedang bertugas di bank tersebut.

"Waktu kejadian tadi pagi siapa satpam yang bertugas, Pak?" tanya Ishna usai ia berdiri tepat di ambang pintu dan menatap balkon yang ada di lantai tujuh tersebut.

"Ada teman saya, Mbak. Sekarang lagi bebas tugas. Lusa baru dia tugas lagi karena jadwal piketnya bergilir," jawab satpam itu.

Ishna mengangguk. Ia kembali mengenakan sarung tangannya dan meminta satpam itu untuk menjauh dari tempat itu. Ishna menghidupkan lampu senter dan mulai memeriksa sekeliling balkon tersebut.

Jika ingin menembak, ia meletakkan senjatanya persis di tempat ini. Benar dugaanku. Moncong senjatanya pasti terlihat, batin Ishna seraya berjongkok di lokasi tersebut.

GALVASKA √ TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang