47

5.6K 1K 31
                                    

Suasana hati Jaemin belum juga membaik hingga keesokan harinya. Ia masih merasa sesak dan kecewa. Sebenarnya Jaemin bukan orang yang mudah terbawa emosi, kecuali jika itu menyangkut ibunya. Mungkin satu-satunya hal yang bisa membuatnya emosional adalah sesuatu yang berhubungan dengan sang ibu. Bahkan pagi ini Jaemin memilih untuk tak ikut sarapan bersama juga. Ia hanya mengatakan pada Jihoon untuk memberi alasan ia sedang sibuk belajar jika ada yang iseng bertanya.

Berkat keributan yang dibuat Jisung, seisi rumah Duke sepertinya sudah tahu dan sibuk membicarakan rumor ini. Tapi jika dilihat dari perubahan sikap Duke padanya, Jaemin bisa menebak bahwa rumor ini sudah dibicarakan sejak lama. Dibandingkan yang lainnya, mungkin yang paling membuatnya kecewa adalah Duke yang meragukan ibunya. Jaemin tak berharap banyak mengenai hubungannya dengan Duke, tapi Duke yang menganggap ibunya seperti tukang selingkuh adalah yang paling menyakitinya.

"Jaemin?"

Jaemin mendongak malas, rupanya Renjun yang datang mengunjungi kamarnya hari ini. "Ada yang bisa aku bantu?"

Renjun ikut duduk di sisi ranjang, tempat Jaemin bersandar sambil membolak-balik lembaran buku tanpa serius membacanya. Ia memperhatikan ekspresi Jaemin lamat-lamat sebelum bertanya, "Apa kau baik-baik saja?"

"Aku sedang tidak baik," lirih Jaemin, tak berniat berpura-pura hari ini.

"Apa kau sudah makan?" tanya Renjun lagi. Sebenarnya ia memang cemas.

Jaemin menatap Renjun, lalu mendesah pelan. Ia tak sejahat itu untuk bersikap kasar dan mengusir Renjun pergi. Tapi sikap Renjun yang terlalu baik juga membuatnya serba salah. "Jangan cemas, aku sudah makan tadi."

"Syukurlah kalau begitu," lirih Renjun. "Sejujurnya rumor yang beredar itu sangat tidak masuk akal dan bagiku kau memang saudaraku."

Jaemin mendesah. "Aku tahu kau berusaha menghiburku. Renjun, kau anak yang baik. Tapi kau sungguh polos."

"Aku tahu aku agak naif," desah Renjun,  menyandarkan kepalanya ke sandaran ranjang.

"Saranku, jangan terlalu mudah memberikan kebaikan pada orang-orang. Mereka akan berpikir kau mudah dimanfaatkan," kata Jaemin.

"Kau juga?"

"Ya, aku juga. Bisa saja sekarang aku sedang memanfaatkanmu," aku Jaemin.

Renjun mengangkat bahu. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku memang menerimamu sebagai saudaraku. Jadi jangan merasa sendiri di rumah ini," kekehnya, membelai poni Jaemin dengan pelan. "Kalau begitu aku pergi dulu. Ikutlah makan siang jika suasana hatimu membaik."

Jaemin menghela nafas berat. Jika mau jujur, ia sedikit terhibur dengan ucapan Renjun. Secercah rasa bersalah itu muncul begitu saja. Jaemin biasanya selalu menghindari hal-hal yang berhubungan dengan perasaan. Hatinya seolah membeku dan ia selalu memikirkan keuntungan untuk dirinya sendiri saja. Tapi entah bagaimana Renjun seperti berusaha keras menyentuh hatinya dengan kehangatan. Walau ia sudah mengatakan bahwa Renjun itu bodoh, tapi kebodohan anak itu justru berhasil meluluhkan hatinya.

Mungkin jika diibaratkan dongeng, Renjun adalah tokoh utama idaman para penulis yang menyukai togoh protagonis baik hati yang selalu baik kepada siapa saja. Sayangnya di dunia nyata, sifat seperti itu tidak ideal. Apalagi di dunia yang dipenuhi intrik dan tipu muslihat seperti istana. Membahagiakan semua orang adalah hal yang mustahil. Terutama jika ada dua kubu yang memiliki kepentingan berbeda. Mereka akan menjatuhkan orang seperti Renjun dengan berbagai macam intrik politik. Jaemin mendesah. Kalau begitu tak seharusnya ia membiarkan Renjun masuk ke dalam istana yang mengerikan itu.

Saat makan siang, Jaemin bersedia keluar dan mendapati Renjun sendirian yang menunggunya disana. Ia mendapat kabar bahwa semua orang memang sangat sibuk hari ini, termasuk Jisung dengan seluruh pelajarannya. Renjun tak lagi membahas rumor itu, tapi ia sibuk mendiskusikan pelajaran apa saja yang sedang dipelajari oleh Jaemin. Pembelajaran Renjun dan Jaemin cukup berbeda. Renjun tak pernah belajar seberat Jaemin. Entah kenapa sebuah pemikiran baru begitu saja terlintas di kepala Jaemin. Jika benar, maka semuanya akhirnya masuk akal.

{JGN DIBACA LAGI, UDAH AKAN DI-UNPUB} Perjanjian Dengan Pangeran (nomin) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang