"Selamat pagi saudaraku Renjun," sapa Jaemin saat berpapasan dengan Renjun di lorong. Ia tersenyum lebar.Renjun menatapnya datar. "Pagi," balasnya tanpa niat. Renjun buru-buru pergi karena tak ingin mengacaukan harinya dengan melihat wajah Jaemin. Ia tak suka anak itu. Ditambah ibunya juga memperingatkannya agar tak macam-macam pada Jaemin.
"Hei, kita belum pernah mengobrol banyak. Bagaimana kalau kita menghabiskan waktu bersama hari ini?" tanya Jaemin, menahan langkah kaki Renjun.
"Aku tidak punya waktu. Aku pergi," tandas Renjun, lalu kembali melangkahkan kakinya menuju ke arah taman.
Jaemin melirik para pelayan yang sepertinya mulai merasa iba padanya. "Padahal aku ingin lebih akrab dengannya," gumamnya. Lalu ia pergi meninggalkan tempat itu dan kembali ke kamarnya. Para pelayan tentu saja sangat menyayangi Renjun, tapi Jaemin tak berniat membuat pelayan itu berbalik menyukainya. Itu hanya buang-buang waktu.
Ah, tapi di Duchy ini benar-benar membosankan. Jaemin jadi tergoda dengan tawaran Jeno yang ingin ia tinggal di Istana setelah pertunangan. Tapi tidak, Jaemin masih ingin berada di tempat ini untuk memastikan banyak hal. Lagipula ia tak ingin terlalu dekat dengan Jeno. Jaemin takut akan tumbuh perasaan yang tak seharusnya ada diantara mereka. Sudah cukup dengan sikap Jeno yang terkadang membuatnya bingung.
Tok tok
"Tuan muda, saya mengantarkan kopi dan cemilan untuk anda."
"Masuk!" pekik Jaemin, memutar tubuhnya ke belakang. Ia tersenyum tipis melihat pelayan itu. "Letakkan di meja belajarku saja. Sekalian aku ingin meneruskan bacaanku."
Pelayan itu mengangguk dan meletakkan baki ke atas meja. Setelah itu ia mendekati Jaemin dan membungkukkan tubuhnya. "Maaf karena terlambat memberi penghormatan kepada Tuan muda."
"Jadi, ada apa?" tanya Jaemin, sedikit melirik ke arah pintu.
"Anda sedang diselidiki dan diawasi. Anda harus berhati-hati, Tuan muda."
Jaemin mengangguk. Ia sudah tahu ini akan terjadi. "Selain itu, apa ada lagi?"
"Nyonya menyuruh Tuan muda Renjun untuk berhati-hati terhadap anda. Ah, lalu seorang pengawal terlatih sedang dalam perjalanan menuju perbatasan," kata sang pelayan.
Jaemin mendengus geli. "Aku mengerti. Terimakasih atas laporanmu. Tetaplah jadi mata dan telingaku, Inna."
Pelayan itu membungkuk sekali lagi dan pergi keluar. Jaemin menyisir rambutnya ke belakang dan kembali menatap keluar jendela. Beberapa tahun yang lalu ia sudah menyusupkan seorang mata-mata di tempat ini. Bukan hal yang mudah karena Wendy sangat selektif dalam memilih pelayan. Ia terpaksa membeli gelar dari seorang Baron miskin yang untunglah masih seorang bujangan saat itu. Ia membuat pelayannya mendapatkan gelar Baronnes melalui pernikahan. Itu hanya formalitas saja, toh ia membayar Baron itu dengan koin emas yang banyak.
Tok tok
Kali ini pintu kamarnya kembali diketuk. Jaemin mempersilahkannya masuk. Seorang pelayan masuk dan menyerahkan surat dengan stempel lambang kekaisaran. Jaemin membukanya, itu undangan dari Kaisar yang mengajaknya untuk makan siang bersama. Ia mendesah, bisa-bisanya pihak kekaisaran memberikan waktu yang singkat untuk bersiap-siap. Semuanya terkesan terburu-buru. Berarti kali ini ia harus benar-benar selektif memilih pakaian untuk dikenakan.
**
"Uwaah, cukup! Aku menyerah!" pekik Sungchan, yang telah terduduk saat berlatih pedang bersama Jeno. Kakaknya yang satu ini memang teramat mengerikan jika sudah memegang pedang.
"Harusnya kau tidak menyerah semudah itu," omel Jeno. Padahal Sungchan memiliki postur yang sangat ideal, tapi anak itu cukup pemalas dalam berlatih.
KAMU SEDANG MEMBACA
{JGN DIBACA LAGI, UDAH AKAN DI-UNPUB} Perjanjian Dengan Pangeran (nomin)
أدب الهواةPangeran kedua yang sedang patah hati mengajak Jaemin bertunangan Baca aja udah, gak bakal di unpub kalo blm ending. Pas udah ending baru unpub sebagian