14. Titik Terang

3.1K 145 2
                                    

"Banyak kebenaran yang hilang, hanya karena telinga tidak mau mendengarkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Banyak kebenaran yang hilang, hanya karena telinga tidak mau mendengarkan."

☆▪︎☆▪︎☆▪︎☆

14. Titik Terang

"Tv siapa itu Kar yang lo benerin?" tanya Kafka pada Askara yang sibuk berkutat dengan TV 12 inch. Atas ulahnya itu, satu kos-kosan dibuat berantakan oleh alat perkakas.

"Punyanya Haji Ma'ruf," jawabnya sambil mencoba mencari sumber masalah.

"Kenapa lagi TV-nya?"

"Kayaknya mesinnya ada yang kobong."

"Terus tuh AC?"

Askara melirik benda di sampingnya. "Punya Bu Anggraini. Lumayan, kalau gue benerin AC-nya, katanya dia janji bulan depan uang kos gue bakal di korting."

"Widih enak bener. Hati-hati, entar Bu Anggraini kepincut pengin punya mantu kayak lo."

"Ogah gue, Kaf. Cukup lo aja yang jadi korban. Gue gak mau jadi korban selanjutnya."

Kafka terkekeh mendengarnya.

Sebagai lulusan anak teknik, Askara menggunakkan keahliannya untuk bekerja menjadi tukang service. Kesehariannya bekerja di ruko depan milik orang china bernama Koh Tang. Tak jarang Askara juga menerima jika ada orang yang ingin membetulkan barang elektronik di rumah ketika hari libur tiba.

Anak Kos Anggrek itu bertalenta dan juga mandiri. Kalau Askara jago membetulkan barang rusak, ada George yang pandai memasak, Kafka si pemotret handal, dan Sultan yang pekerja keras. Hanya Haris yang hidup serba berkecukupan. Kebutuhan hidupnya masih ditanggung orang tua terutama Maminya.

"Lo lagi sibuk ngapain sih, Kaf? Dari tadi gue perhatiin main laptop mulu?" tanya George heran melihat Kafka sedari tadi entah sedang mengetik apa.

"Oh ini, Gue lagi bikin CV buat ngelamar kerja."

"Coba lihat." George berpindah posisi ke sampingnya.

Tiba-tiba Haris masuk dengan heboh. "Tetangga sebelah lagi ke luar kota?"

Askara mendongak. "Mana gue tau."

"Gue perhatiin beberapa hari ini rumahnya sepi banget. Kayak gak ada orang," ujar Haris.

"Ah, mana mungkin. Terakhir kali gue lihat pas malem lampunya nyala kok," sahut George.

"Kaf, lo nggak mau ngecek?" Haris melirik Kafka yang sibuk mengetik.

Kafka berusaha bersikap bodo amat. "Enggak."

"Tapi kayaknya kali ini lo mesti ngecek deh, Kaf. Gue juga khawatir sama Khanza soalnya terakhir kali gue lihat dia pulang sambil nangis." George memberi saran.

Kafka penasaran. "Nangis kenapa, George?"

"Entahlah, kayaknya abis diputusin pacarnya. Gue nggak yakin."

Sebelah Kos MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang