“Sekarang sok-sokan gak kenal, dulunya aja kemana-mana selalu nempel berdua.”
▪□▪□▪□▪
BAB 2--We Meet Again
“Aduh, gue mesti gimana? Masa iya gue harus balik ke Bandung?”
Sudah genap seratus kali Khanza berjalan mondar-mandir sambil menggigit kuku jari. Khanza bimbang antara kembali pulang ke Bandung atau tidak. Tapi sepertinya pulang bukanlah pilihan yang tepat, karena pasti Soraya akan menganggapnya pengecut yang melarikan diri dari medan tempur bahkan sebelum perang dimulai.
Tok! tok! tok!
Terdengar suara ketukan pintu sebanyak tiga kali. Segera Khanza menyudahi kegiatan tidak jelasnya dan membuka pintu. Ibu-ibu bersanggul dengan jepit bulu-bulu merah muda menghiasi kepala, bibir berwarna merah merona, tersenyum tipis.
“Selamat pagi,” sapanya.
“Bu Anggraini, ya?” tebak Khanza. Enzi bilang, besok pagi pemilik kontrakan memang akan datang berkunjung kemari.
“Jadi ini yang namanya Mbak Khanza? Cantik juga,” puji Bu Anggraini terpukau melihat wajah Khanza.
“Ibu bisa aja. Mari duduk dulu, Bu.”
Khanza mengarahkan Bu Anggraini untuk duduk di kursi rotan depan teras.“Gimana Mbak semalem tidurnya? Nyenyak?”
“Nyenyak kok, Bu.”
“Alhamdulillah, yang betah ya di sini, Mbak. Melebihi dua tahun ada diskon,” bisik Bu Anggraini tertawa malu-malu. Strategi marketing.
“Haha, iya, Bu.” Khanza tertawa hambar. “Kalau boleh tau, kos-kosan di sebelah itu punya Ibu juga?”
“Ah, itu. Itu kos-kosan punya saya, Mbak. Di dalemnya ada empat kamar, lumayanlah kalau di sewain. Sebulan bisa borong sheet mask lima kardus.” ujarnya diselingi candaan.
“Mbak Khanza tau nggak? Anak kos-kosan Ibu, semuanya pada cakep-cakep. Terutama Nak Kafka, gantengnya sebelas dua belas sama Justin Bieber.”
Beginilah Bu Anggraini. Ibu kos paling cerewet sepanjang masa. Sekalinya ngomong gak berhenti-berhenti kayak rel kereta. Kafka. Mendengar namanya saja Khanza muak.
“Dulu nih ya, Ibu pernah nyoba jodohin anak Ibu yang baru lulus SMA sama Nak Kafka. Padahal anak Ibu cantik, loh. Eh, Nak Kafkanya nggak mau.”
“Kenapa, Bu?” tanya Khanza penasaran.
Bu Anggraini maju, sedikit berbisik-bisik. “Katanya Nak Sultan, Nak Kafka demennya sama yang sejenis.”
“Maksud Ibu dia homo?”
“Iya, semacam itu.”
Khanza rasanya ingin tertawa. Wajah Kakfa emang kelewat datar. Kalaupun ketemu cewek, pasti cueknya setengah mati. Wajar saja kalau ada yang bilang kalau Kafka itu tidak
normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelah Kos Mantan
RomanceKhanza tak pernah menyangka kalau kepergiannya ke Jakarta akan membawanya kembali bertemu dengan seseorang di masa lalu. Lebih sialnya lagi, Khanza harus menerima kenyataan kalau ternyata kontrakan yang ia tempati, bersebelahan dengan kos mantannya...