38. Dia Yang Ku Cinta
Terlalu banyak memendam beban pikiran, berjalan di atas keraguan, kehidupan remaja tidak seindah yang dibayangkan.
Kafka baru saja memarkirkan motor yang ia pinjam dari Askara di teras kos. Dari luar tampak tenang sekali, tandanya semua sudah tertidur pulas.
Kafka berjalan lesu menenteng tas yang berisi banyak bekakas. Membuka pintu. Dugaannya salah, ternyata ada satu mahkluk yang masih terjaga di ruang tamu.
"Lo kenapa, Kaf?"
Kafka membuang diri ke sofa. Memijat lembut kening. "Kepala gue sakit banget."
George berjalan ke dapur untuk mengambilkan Kafka segelas air. Memahami sahabatnya mungkin sedang kelelahan. "Minum dulu, Kaf. Obat lo di mana?"
"Di laci."
George ke kamar Kafka, mengambilkan obat dari dokter. Memberikannya pada Kafka untuk segera diminum.
"George, gue mau nanya sama lo." Kafka sudah lelah bergelut dengan pikirannya sendiri. "Sebenernya Khanza itu siapa?"
George tersenyum tipis mendengar pertanyaan Kafka. "Khanza itu, wanita paling istimewa dalam hidup lo, Kaf."
"Lebih istimewa dari Seza?"
"Lebih dari semua wanita yang ada di dunia."
"Gue kasihan sama dia," George kembali membuka percakapan.
"Kenapa?"
"Belum lama dapetin cintanya, ada aja ujiannya," jawab George menerawang lurus ke depan.
"Seza itu bukan siapa-siapa lo, Kaf. Yang harus lo jaga itu Khanza," sambungnya.
"Maksudnya?"
"Capek, Kaf, ngomong sama lo. Lo juga gak bakalan ngerti." George menepuk pundaknya. "Selamat istirahat, Bro." Lalu George masuk ke dalam kamar.
Entah mengapa, hari ini orang-orang terasa sangat menyebalkan. Mulai dari Seza, dan sekarang George?
Kafka pun masuk ke kamarnya sendiri untuk istirahat. Bukannya tidur, ia malah membuka laptop. Melihat-lihat file dan juga galeri.
Kafka senyum-senyum sendiri saat menemukan foto kenangannya bersama Khanza. Penuh kegembiraan dan juga kebahagiaan. Foto mereka berdua dari zaman SMA, Indahnya kota Bandung, hingga seriusnya kota Jakarta.
Semua hanya tentang Khanza.
"Pantas, selama ini gue nyaman sama Khanza ketimbang sama Seza."
"Dia cantik...."
"Dan juga baik."
Kafka menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Menatap langit-langit kamar. Sejenak kepalanya terasa nyeri, seperti berusaha mengulas kenangan lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelah Kos Mantan
RomanceKhanza tak pernah menyangka kalau kepergiannya ke Jakarta akan membawanya kembali bertemu dengan seseorang di masa lalu. Lebih sialnya lagi, Khanza harus menerima kenyataan kalau ternyata kontrakan yang ia tempati, bersebelahan dengan kos mantannya...