Tatiana menjulang tinggi di hadapan Na Hyun. Hantu permaisuri itu memang terlihat memiliki tubuh jenjang, walau kakinya tetap berpijak ke atas tanah. Asumsi terbaik Na Hyun adalah Tatiana memanglah seseorang yang memiliki tinggi badan semampai. Amira di sisi lain hanya sebatas bahu Tatiana. Lalu Metzli, gaya rambutnya membuatnya tampak setinggi Amira walau aslinya hanya sebatas telinganya. Ketiga wanita ini mengenakan tunik Yunani yang biasa digunakan setiap ada kegiatan resmi di kerajaan. Warnanya putih, ikat pinggangnya berwarna keemasan. Rambut mereka juga dililit kain bersulam benang emas.
Lukisan di istana Esacasta tidak menggambarkan seberapa cantik mereka. Sebagai tiga permaisuri Kerajaan Hemoria, mereka bertiga bagai dewi yang tak terjamah.
Na Hyun duduk di atas tanah. Kali ini bukan lagi di pinggir desa, Na Hyun berada di tengah-tengah desa. Rumah-rumah yang terbuat dari jerami membentuk segitiga berdiri rapi di sekitarnya. Cerobong asap mereka mengepul di beberapa atap. Setiap penduduk desa mengerjakan keseharian mereka seperti yang selalu Na Hyun lihat. Mereka semua mengenakan pakaian yang seragam. Lantas, Na Hyun menunduk dengan cepat ke bawah.
Dia mengenakan baju tidurnya.
"Apa mereka bisa melihat kita?" tanya Na Hyun.
Metzli memanggil salah satu wanita yang memegangi keranjang rotan di atas kepalanya, berisi buah-buahan segar yang baru dipetik. Mereka bertukar kabar. "Tentu saja mereka bisa."
"Jadi, apa kau kepala desanya?"
"Nenek tua di ujung sana adalah orang yang kaucari." Tatiana menunjuk seorang wanita seusianya sedang memberi makan ternak. Tidak ada penanda khusus yang bisa dijadikan penciri jika ia adalah kepala desa ini. Na Hyun menyipitkan matanya pada Tatiana. "Apa kita hanya berbincang saja? Terakhir kali kalian sangat panik."
Amira duduk menyamping, tangannya mengambil tangan Na Hyun untuk digenggam. Wajahnya sumringah, seolah dia ingin menyampaikan berita baik. Perang usai, misalkan. "Kau sudah melakukannya dengan baik. Adriana sudah turun. Kau dan Yang Mulia juga-"
"Sebentar. Duchess Adriana apa?"
...mengundurkan diri.
Itu kata yang Na Hyun dengar dari Serafin dan Katherine. Pikirannya segera tertuju pada Giselle. Ia berlari menuju pintu kamar yang ditempati Giselle, berharap gadis itu belum pulang kembali ke Hemoria. Kamarnya kosong. Pintu yang diketuk Na Hyun mengayun ke dalam menunjukkan kamar kosong yang tidak berpenghuni. Rapi dan tertata.
"My Lady, jika anda mencari Lady Giselle, beliau sedang berdoa."
Dayang istana baik memberitahunya. Na Hyun menuruni tangga ke lantai dasar. Dia hanya mendengar di mana letak kuil di sini, tetapi belum pernah berkunjung. Beberapa hari ini, semua dayang menyuruhnya tidak melakukan banyak kegiatan sambil berdiri. Mereka bahkan sampai menyuruhnya berbaring di ranjang saja seharian sementara mereka bergantian membawakan makanan, buku, dan hiburan lain untuknya.
Waktu yang dimiliki Na Hyun di dalam kamarnya digunakan untuk memasuki Lunar Village.
Selama ini karena dipaggil atau dibawa ke sana, Na Hyun kembali dalam waktu yang cukup cepat. Namun setelah mencobanya sendiri, 6 jam bisa berlalu dalam sekejab.
Na Hyun berhenti di depan tangga menuju menara komando. Rombongan tentara berlalu di depan sana, saling berbincang dengan satu sama lain. Salah seorang dari mereka menghampiri. "Na Hyun."
"Oh. Hei, Riley. Kau mau ke mana?"
Di belakang Riley beberapa prajurit sepertinya juga membawa tas besar yang sama. Riley melirik ransel yang dia gendong di satu pundak. Ransel itu berisi banyak atribut militer dan barang-barang untuk kebutuhan pribadi. "Kami akan dikirim. Pelatihannya sudah selesai."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WINTER | JEON WONWOO
FanfictionWonwoo selalu dapat diraih Na Hyun asalkan dia mengulurkan tangan. Suatu hari, Wonwoo sejauh bentangan samudra walau masih ada di ujung jarinya. *** Wonwoo memiliki rahasia kelahiran yang tidak dia bicarakan. Saat seorang bangsawan Kerajaan Hemoria...