12. rumah sakit

21.5K 932 9
                                    

Jangan lupa vote + comment ya!

Happy reading!
.
.
.

Bel sekolah yang menandakan waktunya untuk pulang sudah berbunyi. Para siswa kini tengah sibuk merapikan alat tulis mereka agar bisa segera pulang ke kediaman masing-masing. Begitupun dengan Agatha, ia mulai merapikan buku-bukunya lalu memasukkan ke dalam tas. Saat hendak beranjak dan sudah siap dengan tasnya, Agatha didatangi oleh Mala. "Agatha tangan lo masih sakit? Pulang sama gue aja yuk!" Ajaknya.

Agatha melirik ke arah Bian yang tengah bersandar di ambang pintu sembari bersidekap dada. Bian sepertinya tengah menunggu Agatha disana. Namun raut Bian terlihat seperti mengatakan 'jangan'. Agatha yang mengerti pun mengangguk.

"Ga usah La, gue bentar lagi dijemput kok. Gue disuruh nunggu di halte." Tolak Agatha.

"Yaudah gue anterin lo sampe halte ya." Tawar Mala.

"Boleh."

Agatha dan Mala langsung beranjak keluar dari kelas. Bian yang hendak ikut beranjak tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang. "Woy bro! Tumben lo nungguin gue?" Tanya Vino kepedean.

"Gue ga lagi nungguin lo."

Bian langsung pergi begitu saja meninggalkan Vino yang nampak kebingungan. "Lah? Terus dia nungguin siapa?" Heran Vino.

Di sisi lain, Agatha yang sudah menunggu di halte langsung didatangi oleh Bian. "Naik!" Titah Bian.

"Motor lo tinggi banget, susah naiknya dalam keadaan tangan gue yang bengkak."

"Ck! Gue pegangin."

Agatha lalu berusaha menaiki motor Bian yang hanya berpegangan dengan tangan kirinya saja di pundak Bian dan tubuhnya langsung dipegangi oleh Bian agar tidak terjatuh.

Bian kemudian melajukan motornya membelah jalanan kota. Namun bukannya ke rumah, Bian malah mengajak Agatha ke sebuah rumah sakit. Bian langsung memarkirkan motornya di parkiran rumah sakit. Hal tersebut tentu saja membuat Agatha kebingungan dan bertanya-tanya.

"Turun!" Titah Bian.

Agatha menurut dan langsung turun dari motor yang dibantu oleh Bian. "Kita ngapain ke sini?" Tanya Agatha penasaran.

"Menurut lo?" Tanya Bian balik.

"Berobat. Tapi siapa?"

"Lo."

"Gue ga kenapa kenapa."

"Tangan lo!"

Agatha melihat tangannya yang sedikit membengkak dan memar. "Tangan gue gapapa, besok juga sembuh. Ga usah pake ke rumah sakit segala."

"Ga usah keras kepala! Ntar yang dimarahin gue."

"Ga bakal, ini kan pure kesalahan gue."

"Lo mau masuk jalan sendiri atau gue gendong?"

"Eh! Iya! Gue jalan sendiri."

Agatha dengan penuh keterpaksaan langsung menuruti Bian dan mulai berjalan memasuki rumah sakit. Agatha yang merasa kesal terus mendumel sepanjang perjalanan. "Pemaksa banget sih, ngapain juga gue mau? Ini kan pemaksaan. Cowo kaya Bian ga patut dituruti harusnya! Tapi kenapa gue nurut?" Dumel Agatha namun dengan suara yang dipelankan agar Bian tidak bisa mendengarnya.

Bian tiba-tiba berjalan sebelah Agatha dan jarak mereka kini sangat dekat. Bian mulai menoleh ke arah Agatha. "Lo pikir gue ga punya telinga buat dengerin semua dumelan lo itu?"

Agatha yang kaget langsung memberhentikan langkahnya lalu menatap tak percaya ke arah Bian. "Lo denger? Kok bisa?"

Huh!

Abian menghela nafasnya kasar, ia kemudian mengangkat tas Agatha lalu menarik tas tersebut sehingga membuat Agatha dengan terpaksa berjalan mengikutinya. "Karna gue punya telinga!" Kesal Bian.

"Bian jangan narik narik! Malu diliatin ih!"

Bian menurut lalu melepaskan tas Agatha namun ketika mereka sudah sampai di depan resepsionis. Mereka kemudian langsung mengambil nomor antrian dan menunggu di kursi yang sudah disediakan. "Udah gue bilangin ga usah pake ke rumah sakit segala, ga mau denger. Buang-buang waktu aja." Dumel Agatha.

"Lo mau tangan lo ga sembuh-sembuh?"

"Yaa, ga mau."

"Yaudah ga usah bacot."

Tidak lama, kini nomor antrian mereka dipanggil. Bian juga Agatha langsung memasuki ruangan yang diarahkan. Terlihat sudah ada dokter perempuan disana yang tengah menunggu mereka.

"Silahkan duduk." Titah sang dokter.

Bian dan Agatha langsung mendudukkan diri mereka di kursi yang telah disediakan. Dokter tersebut tersenyum ke arah mereka.

"Perkenalkan saya dokter Hanid. Jadi, siapa yang sakit?"

"Saya dok, tangan saya sedikit bengkak karna ga sengaja kepentok."

"Coba sini saya periksa,"

Agatha mulai mengulurkan tangannya lalu dokter Hanid langsung memeriksa keadaan tangan Agatha. "Hmm memang tidak cukup parah, hanya keseleo biasa. Tapi biasanya ini terjadi karena terjatuh lalu tertimpa sesuatu." Jelas dokter Hanid.

Bian yang mendengar hal tersebut langsung menatap Agatha dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Namun Agatha tak berani menatap wajah Bian yang sepertinya marah karena dirinya telah berbohong.

"Baik saya akan resepkan obatnya agar rasa nyeri dan bengkaknya bisa cepat hilang." Ucap dokter Hanid yang mulai menuliskan beberapa nama obat di sebuah kertas.

Setelah selesai, mereka langsung beranjak menuju apotek yang masih berada di sekitaran rumah sakit tersebut. Bian sama sekali tak mau berbicara dengan Agatha dan hanya diam saja tanpa adanya keinginan untuk mengobrol.

Agatha yang merasa tidak tahan langsung menghentikan langkah Bian dengan meraih tangan Bian lalu menggenggamnya. "Jangan diemin gue kaya gitu. Gue ga suka."

"Gue juga ga suka dibohongin kaya gitu." ucap Bian tanpa menoleh ke arah Agatha.

"I know i was wrong, sorry."

"Lain kali jangan bohong lagi!"

"But... Is that your business?" Tanya Agatha dengan tatapan watadosnya. Hal tersebut tentu saja membuat Bian merasa kesal. Bian langsung menatap Agatha dengan tatapan kesalnya sembari bersidekap dada.

"Okayy, itu jadi urusan lo karna tante Sarah nyuruh lo buat jagain gue. Kan?"

Bian tak menggubris ucapan Agatha dan malah langsung beranjak menuju apotek yang berada di sana. Agatha dengan cepat langsung berlari menyusul Bian. "Bian, tungguin!"

Setelah selesai menebus obat, mereka berdua langsung memutuskan untuk kembali ke rumah karena sudah merasa lapar. Bian sempat menawarkan kepada Agatha untuk makan di luar, namun Agatha menoleh. Agatha memilih untuk makan di rumah.

Anehnya Bian hanya menurut saja dengan apa yang Agatha mau. Belakangan ini Bian merasa dirinya sangat aneh. Mengapa dirinya sangat memperdulikan Agatha? Mengapa dirinya bisa merasa khawatir karena Agatha? Mengapa dirinya bisa dengan mudah luluh karena Agatha?

Begitu banyak pertanyaan yang melintas di benak Bian namun ia masih belum bisa mengerti dengan jelas jawaban dari semua pertanyaan tersebut. Oleh karena itu, ia menghiraukan saja semua pertanyaan tersebut.

Tbc....

ABIAN  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang