Tiba-tiba, suara dering ponsel berbunyi. Memutus adegan mencekam barusan--menurut Jeli.
"HP lo bunyi," kata Alan.
"HP lo, kali."
Alan berdecak sebal. Gadis aneh di hadapannya ini benar-benar keras kepala. "HP lo."
Jeli merogoh saku roknya. Ia meringis setelah menemukan ponsel miliknya yang memang benar berdering. "Oh iya, HP gue."
Sembari Jeli mengangkat teleponnya, Alan kembali berjalan lebih dulu.
"Halo, Yah."
"Kenapa baru bisa dihubungi sekarang? Tidakkah ingat bahwa kamu sudah punya jadwal les tambahan? Ini pertemuan pertama kamu dengan Mr. Jonael, tapi kamu justru membuat beliau menunggu lama."
Di seberang sana, seseorang yang Jeli panggil dengan sebutan Ayah itu mengomel.
"Aku udah bilang, aku nggak mau les bahasa Inggris." Dalam sekejap, suasana hatinya menurun.
"Dan Ayah sudah bilang, Ayah tidak menerima segala bentuk bantahan apapun. Ini demi masa depan kamu sendiri, Haze. Pulang dalam lima menit dari sekarang atau peliharaanmu Ayah buang."
Lagi-lagi Penelope (kucing peliharaannya) yang dijadikan bahan ancaman. Jeli seringkali tidak mengerti mengapa ayahnya tidak seperti orang tua lain yang bahan gertakan ketika anaknya melawan adalah mencabut segala fasilitas mewah yang mereka beri.
Mengapa ayahnya tidak pernah menyita ponsel milik Jeli? Atau mungkin berhenti memberinya uang jajan selama seminggu?
Jika sudah perihal kesayangannya, Jeli berat hati untuk menolak. Sebab Jeli tahu ayahnya tidak pernah main-main dengan ucapannya sendiri. Pada akhirnya, Jeli hanya bisa menghela napas pelan.
"Haze, kamu dengar yang Ayah katakan?"
"Iya. Aku pulang."
Iyain aja dulu biar nggak ribet.
Sebenarnya Jeli punya 3 agenda di rumahnya hari ini. Pertama, belajar memasak ikan goreng dengan sang Bunda. Kedua, setor hafalan bahasa Jepang--lagi, karena sebelumnya ia gagal--pada ayahnya demi tawaran seekor kucing baru. Terakhir, les privat tambahan dengan guru 27 tahun yang diketahui bernama Jonael.
Tapi persetan dengan kucing baru, Jeli akhirnya memutuskan untuk tidak memedulikan tiga agenda itu.
"Pulang."
"Males."
"Lo bilang mau pulang."
"Iya, nanti."
Selang tujuh menit setelah itu, Jeli menghentikan langkahnya ketika mereka sampai di depan sebuah rumah dengan pagar putih yang cukup tinggi.
"Rumah gue di sini, hehe..." Gadis itu berkata dengan menerbitkan cengiran lebar.
Pantas saja Jeli tidak memberi protes atau sekadar bertanya, "Rumah lo di daerah mana, sih?" karena rupanya rumah keduanya memang searah.
KAMU SEDANG MEMBACA
8 LETTERS | Chenle-Ningning
Подростковая литератураSMA punya banyak kenangan dan cerita menarik bagiku. Masa dimana aku mengenal dewasa dan segala hal baru tentang dunia. Tentang cerita dengan banyak gelak tawa dan bahagia, beragam luka dan obatnya, obrolan tengah malam, juga akhir pekan yang menyen...