Sepanjang perjalanan pulang, Jeli tak hentinya berceloteh dan mengekspresikan segala isi hatinya usai mendengar cerita dari mulut Alan, si laki-laki irit bicara yang menduduki posisi paling rumit dari sekian banyak Jeli menemui berbagai karakter manusia.
Sepuluh menit pertama setelah Alan menuntaskan bicaranya, respons yang diberikan Jeli memang hanya terdiam kaku. Jika Alan tidak menyentuh dagu Jeli cuma demi membuatnya menutup mulut, mungkin selama itu pula Jeli menjatuhkan rahang. Gadis itu tak berkomentar apa-apa sampai Alan mengajaknya berdiri dan berniat mengantar pulang.
Tapi sekarang, saat setengah perjalanan terlewati, Jeli justru seakan-akan baru sadar dengan realita dan langsung menyerang Alan dengan berbagai kalimat balasan yang sepertinya baru selesai dicerna. Siap diutarakannya.
Alan melemparinya dengan tatapan sulit dimengerti. Ia cukup terkejut pada awalnya sebab sudah mengira Jeli takkan memberi sedikitpun tanggapan saking lamanya si gadis berponi itu mematung tadi.
"Bentar, Lan. Rumah gue udah mau deket. Gue belum dapat jawaban apa-apa lagi." Jeli berhenti melangkahkan kaki. Alan di depannya menoleh, lalu turut berbalik badan untuk kemudian mendekatinya.
Sudah sejak tadi Jeli menyodorkan Alan dengan beragam tanda tanya baru yang masih tidak dimengertinya, tapi kini giliran laki-laki itu yang justru bungkam.
Di tengah trotoar jalan yang sepi, mereka berdua sama-sama membisu dalam beberapa saat. Sudah banyak terlontar pertanyaan dari Jeli seputar berapa ramai yang pernah menyakiti Alan waktu itu, masalah apa yang sampai membuatnya bisa sekacau dulu, tetapi Alan seolah menutup pendengaran serta mulutnya rapat-rapat.
Terlihat Alan menarik napas panjang sekali lagi. Jawaban sederhananya setelah itu membuat Jeli benar-benar bingung harus bereaksi seperti apa.
"Bukan nggak mau jawab. Gue capek banget ngomong banyak. Energi gue langsung habis, lo tau?"
Penuturan tersebut membuat gadis di depannya melongo. Speechless untuk yang kedua kali. Melihatnya, Alan terkekeh kecil. Raut jenaka Jeli sungguh menggelitik, dan bukankah gadis itu sudah pantas jika masuk nominasi manusia paling ekspresif? Itupun kalau ada.
"Kenapa lagi sama muka lo?" Alan mengulum bibir. Menahan tawa yang siap menggelegar.
Jeli jelas mendengus kesal. Ia hanya tak tahu harus menyikapi Alan dengan cara apalagi karena laki-laki itu kadang lebih menyebalkan dari yang pernah Jeli kira.
Sesusah apa bilang begitu sejak tadi? Jeli tentu tidak akan repot-repot berceloteh banyak hal. Padahal sebelumnya, Jeli pikir Alan keberatan untuk bercerita lebih dalam. Alan mungkin saja butuh waktu, secara laki-laki itu tampak masih menganggapnya terlalu asing untuk berbagi masalah pribadi begini.
"Ya gue kira lo nyuekin gue!" sungut gadis itu pada akhirnya.
Tanpa berkata apa-apa, Alan memutar badan dan meninggalkan Jeli. Berjalan lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
8 LETTERS | Chenle-Ningning
Teen FictionSMA punya banyak kenangan dan cerita menarik bagiku. Masa dimana aku mengenal dewasa dan segala hal baru tentang dunia. Tentang cerita dengan banyak gelak tawa dan bahagia, beragam luka dan obatnya, obrolan tengah malam, juga akhir pekan yang menyen...