Berjam-jam lamanya, dua anak manusia yang terperangkap nasib buruk sejak pagi itu belum juga mampu melepaskan diri.
Gemuruh hujan sudah tak lagi terdengar. Langit untungnya tidak berlama-lama menurunkan tangis.
Alan tidak tahu sekarang matahari sudah setinggi apa, tapi suhu ruangan yang perlahan terasa naik membuat sekeliling mereka sedikit panas dan menyesakkan.
Yang diusahakan Alan dan Eno sejauh ini masih sama sia-sia. Mereka tetap terjebak, terisolasi paksa tanpa adanya pertanda bantuan sesiapa dan apa saja yang datang menyelamatkan. Kalau sudah begini, Alan yang dasarnya mudah dikalahkan keadaan itu mau mencuatkan apalagi selain harap?
Hening tak berujung itu tiba-tiba diterobos oleh satu bunyi keroncongan perut. Dan Eno, adalah si pelaku.
Alan menoleh lemah ke arah Eno dengan sangsi. Perasaan bersalah seketika mendominasi lagi. Banyak kalimat jika yang cuma bisa tertelan mentah. Jika bukan karena terjebak satu kemalangan dengannya, Eno tidak akan ada di sini. Jika bukan karena Alan yang payah bertarung membela diri, Eno juga pasti sudah sampai dengan selamat menuju rumahnya. Jika tidak begini, Alan tentu sudah melihat reaksi Jeli terkait surat yang dia bawa. Perut Eno pun tidak akan berteriak nyaring menagih asupan karena di rumah nanti dia akan sarapan berdua dengan sang ibu.
Hanya saja kembali lagi, Alan tidak punya hak menyalahkan Tuhan untuk apapun jenis pengalaman hidup. Alan kini sudah menganggap segala datangnya kesulitan adalah untuk dia hadapi dengan keren, dengan sebaik yang dia bisa. Sama seperti sebuah penyesalan, tidak ada bagian terbaiknya dari semata menyalahkan diri sendiri. Akhir sesinya hanya ada bersedih, bersedih, dan sudah. Tidak ada lagi.
Satu soal sama yang ditanyakan Alan dan Eno mungkin hanya, sudah berapa jam mereka berdiam diri di tempat ini?
Deru napas lelah dan peluh keringat membanjiri seluruh bagian tubuh. Sebagus apapun kualitas kain seragam yang Alan pakai, tetap terasa lengket dan tak nyaman. Tidak hanya badan yang pegal-pegal akibat kesulitan digerakkan, kulit pergelangan tangan pun perlahan perih saking banyaknya dipaksa lepas dari ikatan.
Satu terkaan yang Alan punya, mereka sudah melewati lebih dari setengah hari di sana. Sabar seluas apa dan usaha keras macam apa lagi yang kiranya masih punya akhir kemungkinan baik? Alan tidak tahu, tapi dia mencoba untuk berhenti merasa tak mampu.
Alan di sana mengemban Eno untuk dia kembalikan pada Teh Gista. Wanita itu mungkin kelabakan dan entah sedang se-kalut apa mencari putranya. Alan juga ingin terbebas dari ancaman mencurigakan si pria berkumis. Di rumah, Tante Yasmeen dan Om Aga mungkin sudah merasa aneh sebab dia tidak kunjung memberi kabar pulang.
Setelah mendoktrin pikiran untuk mempercayai diri sendiri bahwa mereka akan bisa kembali ke rumah sebelum petang tiba, Alan menarik napas panjang untuk bersiap.
Ke sekian kali, Alan mencoba melepaskan lilitan tali pada kedua tangannya yang terikat di belakang tubuh. Kemungkinan berhasilnya sendiri Alan enggan menduga-duga. Yang terpenting sekarang hanya perlu yakin dia bisa melakukan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
8 LETTERS | Chenle-Ningning
Teen FictionSMA punya banyak kenangan dan cerita menarik bagiku. Masa dimana aku mengenal dewasa dan segala hal baru tentang dunia. Tentang cerita dengan banyak gelak tawa dan bahagia, beragam luka dan obatnya, obrolan tengah malam, juga akhir pekan yang menyen...