"3 ... 2 ... IH ALAANN!"
"Lama!"
"CURANG! GUE BELUM BILANG SATU! AWAS LO YA!"
Adegan kejar-kejaran itu berlangsung sengit. Alan berlari lebih dulu sebelum Jeli menuntaskan hitung mundur sebagai tanda start lomba lari dadakan itu.
Keduanya mengerahkan seluruh tenaga demi memenangkan permainan. Sebenarnya, memang ingin saling sikut dan tak mau kalah saja. Aneh rasanya jika belum ada pertengkaran di tiap pertemuan mereka.
Awalnya Jeli tertinggal cukup jauh di belakang, tapi gadis itu berhasil menyusul langkah Alan untuk beberapa saat setelahnya. Alan mendengar tawa Jeli menggelegar melewatinya. Diam-diam ia menarik salah satu sudut bibir.
Jago juga.
"Juara lari dari kenyataan, nih!" seru Jeli di depan sana.
Beberapa orang yang mereka lalui sempat menaruh atensi. Trotoar jalan di jam setengah sembilan pagi ini terbilang masih cukup ramai. Kebanyakan diisi oleh para pejalan kaki, pesepeda, pedagang asongan, dan sisanya tengah berolahraga sama seperti Alan dan Jeli.
Sampai ketika Alan sadar Jeli semakin jauh berlari di depan sana, otak liciknya berputar lagi memikirkan ide curang baru.
Alih-alih berlari lurus ke depan, Alan memacu langkah kakinya berlari masuk ke sebuah gang sempit. Bagai denah jalan di sana sudah ia hapal di luar kepala, Alan dengan pasti memilih satu dari jalan ganda yang ada. Berbelok lagi mengikuti tiap tikungan, bahkan berderap menaiki beberapa anak tangga, kemudian berakhir mengikuti jalan sampai laki-laki itu menemukan secuil pemandangan jalan raya dari dalam gang yang ia lalui.
Kepalanya ditengokkan kanan dan kiri mencari keberadaan gadis yang dicari. Trotoar di sini sudah lumayan sepi, dan Jeli sama sekali tak tertangkap penglihatannya.
Sembari masih sibuk mengedarkan pandang, Alan mengambil ponsel miliknya di saku celana. Yang sialnya, tidak ia temukan.
Laki-laki itu bergerak gusar, mulai panik setengah mati. Meraba seluruh kantong yang ada dalam pakaiannya sendiri. Selain takut ponselnya dicuri dan Alan berakhir kehilangan seluruh data di dalamnya, Alan hanya malas harus membeli ponsel lagi.
Ponselnya yang sekarang itu baru saja ia ganti dengan versi terbaru sekitar dua Minggu lalu. Alasannya karena Alan tidak mau ponselnya tertukar lagi dengan milik Marvel untuk yang keseribu kali.
"Kak! Ini hapenya tadi jatuh!"
Alan menoleh secepat kilat. Dari dalam gang, terlihat bocah perempuan sekitar usia sepuluh tahunan berlari kecil menghampiri. Tangan kirinya menenteng sebuah tas jinjing berukuran sedang, sedangkan yang satunya menggenggam erat sebuah ponsel yang Alan rasa itu memang benar miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
8 LETTERS | Chenle-Ningning
Teen FictionSMA punya banyak kenangan dan cerita menarik bagiku. Masa dimana aku mengenal dewasa dan segala hal baru tentang dunia. Tentang cerita dengan banyak gelak tawa dan bahagia, beragam luka dan obatnya, obrolan tengah malam, juga akhir pekan yang menyen...