10. Tutorial dari Si Pakar Cinta

87 18 0
                                    

Sama seperti semester-semester sebelumnya, Jeli masih menempati posisi pertama pemeringkatan di kelasnya, juga yang kelima di jurusannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sama seperti semester-semester sebelumnya, Jeli masih menempati posisi pertama pemeringkatan di kelasnya, juga yang kelima di jurusannya. Jeli bisa bernapas lega usai sebelumnya sempat khawatir rankingnya turun sebab dia pernah dapat poin pelanggaran.

Harusnya ia senang. Atau mungkin setidaknya bangga dengan dirinya yang mampu bertahan. Namun segalanya masih saja terasa memuakkan. Nilai yang tertera di rapor itu seolah tidak berarti apa-apa. Jauh dari kata sempurna yang Ayah Bunda harapkan.

Dan kali ini, benar-benar terasa sehambar itu. Tidak ada pujian seperti biasa. Ayah tidak lagi memberinya reward atau sekadar ucapan kerja bagus seperti semester lalu. Untuk apa semua itu jika anak pertama yang kerap kali dibanggakan di depan rekan kerja itu nyatanya tidak ada kemajuan.

"Jangan meminta apapun lagi jika peringkatmu masih tidak bisa lebih dari ini." Begitu kata Ayah di hari penerimaan rapor Minggu lalu.

Bunda tidak memberi komentar apa-apa, tapi dari tatapannya saja, Jeli bisa mengerti semuanya.

Semenjak Jeli lebih memilih untuk masuk ke jurusan IPS, Bunda menjadi tidak sehangat dulu padanya. Dan bukan hanya Bunda, Ayah juga kecewa dengan Jeli yang tidak mengikuti pilihan keduanya.

Itu adalah kali pertama Jeli berani menolak tuntutan berkedok saran dari orang tuanya. Ia tidak mengambil anjuran itu. Ia mencoba kabur dari segala desakan itu.

"Jika kamu tidak ingin meneruskan bisnis Ayah atau masuk kedokteran, minimal jadi dosen seperti Bunda. Tujuan kamu masuk IPS itu apa? Kamu sebenarnya ingin mengejar apa?"

Ketika itu Jeli bungkam. Dia di usia 14 tahun itu masih tidak paham betul dengan dirinya sendiri. Jeli tidak yakin dirinya bisa masuk kedokteran, Jeli juga tidak ingin jadi dosen seperti Bunda.

Orang-orang bilang, takdir Jeli sudah seapik itu karena dirinya hanya perlu mengikuti langkah ayahnya yang mana seorang pembisnis besar.

Tidak ada drama-drama pusing mikirin masa depan seperti yang kerapnya anak muda bicarakan, karena katanya Jeli sudah punya chapternya sendiri sampai ending. Di mata mereka, Jeli sudah seperti anak sulung kebanggaan penerus bisnis orang tua seperti tokoh utama cerita-cerita fiksi.

Saat teman-temannya bilang begitu, Jeli hanya bisa manggut-manggut sok bangga. Ia membiarkan spekulasi itu terus berputar pada dunianya.

Mulut gue bisa berbusa cuma buat ngejelasin betapa lucunya hidup gue sendiri.

Dan opsi jadi penerus bisnis ayahnya itu sebenarnya masih banyak Jeli pikirkan sampai sekarang. Jeli tidak tahu apakah dia juga pandai di bidang tersebut, tapi tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain itu. Ia tidak punya cita-cita. Ia tidak punya tujuan untuk beberapa tahun kedepan. Jangankan itu, jurusan kuliahnya nanti saja Jeli masih abu-abu.

Dulu, Jeli punya satu cita-cita; Atlet taekwondo. Ketika dirinya mengatakan hal itu pada orang tuanya, ia justru mendapat respons kurang mengenakkan dari keduanya. Mereka jelas menolak keras. Ayah dan Bunda sempat perang dingin. Bunda menyalahkan Ayah yang mengenalkan Jeli pada taekwondo. Ayah juga balik menyerang dengan mengatakan Bunda kurang cukup baik menjalani perannya sebagai seorang ibu hingga Jeli tidak menemukan minat lain selain itu.

8 LETTERS | Chenle-NingningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang