Bruk!
Suara jatuhnya sesuatu dari balik pintu masuk membuat semua orang dalam ruangan utama itu menoleh serempak.
Sosok anak laki-laki baru saja terjerembab karena kedapatan mengintip dari celah pintu yang tak sepenuhnya tertutup. Dia kelabakan setelah berhasil berdiri lagi. Panik yang semula menguasai diri pun langsung beralih menjadi ketakutan hebat.
Alan dalam posisi berlutut, setengah mati menahan kesadaran. Matanya ikut mengamati rupa si bocah, hingga berujung yakin beribu persen bahwa itu adalah Eno.
Dalam hati Alan bertanya-tanya, bagaimana bisa Eno kebetulan melewati daerah ini? Seingat Alan, warung roti bakar bahkan kontrakan anak itu sendiri cukup jauh letaknya.
"SEDANG APA KAMU, BOCAH?!" Vikram berseru marah bersama sepasang alis menukik tajam.
Dihujani tatap mengerikan oleh tiga pria dewasa beberapa meter di depan, rasanya Eno sudah ingin menangis saja.
Vikram yang menemukan kegetiran dalam bola mata Eno berderap mendekat. Sasarannya sudah tertangkap mudah, sekarang malah muncul pengganggu kecil yang ingin sekali Vikram habisi sekaligus.
Namun alih-alih berbuat sesuatu, Vikram justru hanya berdiri menjulang di hadapan tubuh kaku Eno. Pria itu memutuskan untuk menunda dulu agendanya sampai sini karena ada hal lain yang lebih perlu dia uruskan.
"Bawa anak ini masuk dan jangan biarkan keduanya lepas." Perintah itu menguar bak terpaan angin dingin tengah malam. Menusuk tiap inci kulit, hingga sugesti buruk dalam kepala Alan meraja untuk dirisaukan kenyataannya.
Habis babak belur dan disekap paksa sepagi ini sungguh jauh di luar prediksi Alan. Ditambah lagi dengan Eno yang malangnya terseret tanpa sengaja, Alan serasa dihantam dua kali hingga perasaannya hancur dalam belenggu ketidakberdayaan.
Alan sudah kepalang kalah untuk memberi setidaknya satu saja pembalasan.
Jadi saat dua orang berbadan besar tadi kini menghampiri Eno untuk ditarik masuk ke dalam ruangan itu, tidak ada yang bisa Alan perbuat sama sekali.
"LEPASIN!"
Pemberontakan dari Eno hanya membuat tangannya semakin dicengkeram lebih kasar.
Dua anak buah Vikram membagi tugasnya untuk mengurus Alan dan Eno. Didudukkan tawanannya itu ke masing-masing bangku kayu, untuk kemudian mengikat sepasang tangan dan kaki keduanya sehingga pergerakan mereka terkunci penuh.
Eno yang sejak tadi tak henti berteriak pun dibungkam mulutnya menggunakan lakban hitam. Alan yang melihatnya bahkan baru sadar benda itu sudah ada di meja dekat posisi mereka. Sementara Alan, diikatkan kain yang lagi-lagi menyumpal mulutnya.
"Kesekian kali, kamu mendatangkan orang lain untuk menggagalkan saya." Vikram bersuara. Dia masih setia memerhatikan Alan dari dekat pintu.
"Berita baiknya, untuk kesekian kali juga saya meloloskan kamu. Jangan senang dulu, Jagoan. Kami akan datang menemui kalian lagi malam ini. Menunggu saya setengah hari sepertinya bukan masalah, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
8 LETTERS | Chenle-Ningning
Teen FictionSMA punya banyak kenangan dan cerita menarik bagiku. Masa dimana aku mengenal dewasa dan segala hal baru tentang dunia. Tentang cerita dengan banyak gelak tawa dan bahagia, beragam luka dan obatnya, obrolan tengah malam, juga akhir pekan yang menyen...