Waktu kelas sepuluh, ketika Marvel masih jamannya jadi budak cinta Diphyleia, Alan seringkali mendengar gerutuan Marvel ketika dirinya selalu menunggu lama Diphy berdandan di setiap agenda kencan mereka.
Yang paling lama adalah hingga nyaris 2 jam. Entah Marvel yang menjemput terlalu cepat atau memang Diphy saja yang butuh banyak persiapan.
Waktu itu Alan tidak memberi respons apapun karena dia memang tidak tahu harus membalas bagaimana. Dirinya juga tidak punya pengalaman yang sama dengan Marvel. Alan belum pernah sampai ke tahap naksir seseorang hingga ia mengenal Jeli kini.
"Nanti lo tau rasanya mau marah tapi nggak bisa soalnya dia pacar lo sendiri." Begitu kata Marvel.
Malam ini, pengalaman Marvel yang satu itu terjadi pada Alan.
Di seberang jalan, masih di dalam mobilnya sendiri, Alan menunggu Jeli keluar dari rumahnya. Jari tangannya mengetuk-ngetuk setir mobil. Sudah sedikit jengah walaupun dia tidak menunggu hingga dua jam lamanya seperti Marvel menunggu Diphy.
Alan di sini baru sekitar sepuluh menit yang lalu, tapi dia sudah tidak tahan ingin memaki gadis yang tidak kunjung keluar itu.
Sebelum Alan berangkat dari rumahnya, Jeli sudah mengirimkan pesan bahwa dirinya hampir selesai bersiap-siap. Alan sengaja menunggu Jeli selesai lebih dulu karena sejujurnya dia malas menunggu.
Tapi bahkan ketika dirinya sengaja datang lima menit kemudian dari jam yang dijanjikan, Jeli masih saja belum keluar dari rumahnya. Padahal Alan tidak lupa memberi kabar bahwa ia sudah menunggu gadis itu di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari sana.
Ketika sebuah klakson motor terdengar cukup nyaring di telinga, Alan mengarahkan pandang ke spion kanan mobil. Tampak tak jauh di belakang sana, motor besar mendekat dengan pengemudinya yang memakai warna baju cukup mencolok. Kontras dengan motor hitam garangnya.
Orang itu memberi klakson sekali lagi. Ia menghentikan sepeda motornya tepat di samping pintu mobil Alan.
"Je?"
Ini adalah bagian yang sempat Jeli kagetkan. Sebelumnya, panggilan Je hanya dipakai oleh Eno. Entah bagaimana mulanya, tapi Alan juga ikut memanggilnya demikian. Sebenarnya ini bukan sebuah perkara yang besar, tapi ketika panggilan Je keluar dari mulut Alan, Jeli merasa sedikit berdebar.
"Intrupsi! Ada baiknya kita pergi menggunakan motor ini saja! We de ye te?"
Titah itu tampaknya tidak cukup Alan mengerti. We de ye te, katanya?
Alhasil Jeli menyambung lagi, "Pas gue pikir-pikir, hunting street food enaknya pake motor, Lan. Parkirnya nggak ribet. Kita juga udah keseringan pake mobil, kan? Motoran lah, Bang, sekali-kali!"
"Gitu?"
Jeli mengangguk semangat. "Gitu. Jadi sekarang kita pulangin dulu si Banks."
"Banks?"
KAMU SEDANG MEMBACA
8 LETTERS | Chenle-Ningning
Teen FictionSMA punya banyak kenangan dan cerita menarik bagiku. Masa dimana aku mengenal dewasa dan segala hal baru tentang dunia. Tentang cerita dengan banyak gelak tawa dan bahagia, beragam luka dan obatnya, obrolan tengah malam, juga akhir pekan yang menyen...