15.| Raga Tak Bernyawa

87 33 22
                                    

✿๑•... ALLETHEA ...•๑✿⁠

"Seharusnya jangan melihat sesuatu hanya dari labelnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Seharusnya jangan melihat sesuatu hanya dari labelnya. Hanya karena dia lebih baik tidak berarti bisa merendahkan orang lain."

A story by Ade Bintang 🌟

___________________________


Selepas senja di gulung malam. Sayup-sayup terbawa angin, terdengar samar suara lonceng berbunyi. Menemani sesosok yang tampak asik duduk dengan kaki yang bergelantung menjuntai dari atas menara jam Emerland.

Hari ini, rencananya Aluna ingin mengembalikan kertas yang pernah ia ambil dari alat musik selo di ruangan Hiro seminggu yang lalu. Besok lusa adalah hari penobatannya, jadi tak seharusnya jika Aluna masih terikat pada sesuatu yang bukan miliknya, mengingat janji yang akan ia ikrarkan di hari penobatan kelak. Beberapa kali telah ia coba untuk gladi resik berharap di hari-H tidak ada kekacauan yang terjadi. Perlahan ia berjalan, menyusuri lorong gelap di bawah kastil. Memang Aluna senang berjalan di bawah kegelapan, karena menurutnya gelap itu adalah salah satu sensasi yang dapat membuat ia tenang, dikala ia akan mendengarkan suara miliknya sendiri. Terlebih Aluna berharap Hiro sudah tidur malam ini agar tak ada situasi canggung seperti Minggu kemarin.

Lentera kembali menyinari bayangannya, ketika Aluna sudah menginjak teman istana. Begitu sunyi malam itu, bahkan suara hewan yang seharusnya menemani gelapnya malam saja tidak terdengar. Aluna melirik sekitarnya ia melihat pernak-pernik dansa telah di siapkan di beberapa penjuru. Meski acaranya akan di gelar di aula kerajaan tapi tetap saja seluruh rumah kerajaan akan dihias sedemikian rupa. Aluna tidak sabar membayangkan ia akan menjadi seseorang yang sangat penting. Entah sensasi macam apa, hanya saja Aluna merasa mendapatkan pengakuan dan perhatian itu merupakan keinginan yang begitu ia harapkan sedari dahulu.

Tanpa di sadari ternyata Aluna sudah sedari tadi sampai di depan pintu ruangan Hiro. Ingin sekali ia masuk, tapi langkahnya tercekat ketika menyadari Hiro ternyata belum tidur sama sekali. Ia malah asik menatap rembulan dari balkon kamarnya. Mungkin ini saat yang tepat untuk kabur, begitu pikir Aluna. Ia berbalik dengan langkah yang mengendap-endap layaknya seorang pencuri, dan berniat segera pergi dari sana. Tentang surat ini, nanti sajalah tunggu situasi yang lebih adem ayem lagi.

“Hei, Luna. Kebetulan sekali!” Hiro tiba-tiba menyapa dari kejauhan, membuat Aluna hampir jantungan, terkejut setengah mati.
Dengan pelan, gadis ini menolehkan kepalanya.

“H-Hiro.. kau belum tidur ya?” Sungguh retoris yang konyol. Sudah jelas Aluna melihat Hiro berdiri di sana dengan mata kepalanya sendiri. Tapi dengan bodohnya ia malah mengucapkan pertanyaan konyol itu.

Hiro terkekeh kecil, “kau sendiri?” tanya Hiro balik bertanya, Hiro menghampiri Aluna yang kini gemetar dan langsung memasukan surat itu di sakunya.

“Hehe, aku tidak bisa tidur,” jawab Aluna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Kau seharusnya berisitirahat, besok lusa adalah hari penobatan mu, jika kau sakit bagaimana penobatannya akan berlangsung?” ucap Hiro memberikan nasehat kepada Aluna.

ALLETHEA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang