Bab 1. Kafetaria

83 24 9
                                    


Hampir semua orang pernah mendapat ejekan, bukan? Baik langsung maupun tidak disengaja. Hati yang retak terus mengingat betapa hinanya ejekan tersebut. Membuat korban trauma ataupun mendendam.

(Shoba Dafina Mahya)

Sedative (Obat Penenang)

.

.

.

Sabtu siang, terlihat segerombol anak kuliah yang merayakan kelulusan di kafetaria. Mereka berpesta atas titik akhir membahagiakan di tahun-tahun ajaran.

Dari banyaknya meja yang diisi kepala bertoga, ada meja di dekat dinding diisi gadis bersurai panjang duduk menyilang kaki di meja, di sampingnya ada gadis ramping dengan rambut pirang cokelat-merah, lalu gadis gendut yang sedang memegang buket bunga---hadiah dari teman-teman untuk kelulusannya--- sedang duduk berhadapan dengan keduanya. Mereka bersahabat, dan sekarang bersama-sama menyandang gelar S.E.

"Kapan lu berangkat, Kel?" tanya gadis berambut pirang.

"Kata nyokap mah 3 bulan lagi. Ngerodi dulu gua di sini." Gadis gendut membuka camilan cokelat lalu melahapnya dengan sekaligus.

"Buat ngurusin badan, EEEEAAAA!" sembur gadis berambut panjang.

"Iyadeh yang kurus!" sindir Prakely. Tak urung gadis gendut itu malah melahap setengah cemilan cokelat. Bagaimana mau kurus?

"Eh, Kel, Shoba tuh!" Dagu Fani-gadis pirang-terangkat ke pintu masuk kafetaria memberitahukan ada sosok yang mereka kenal di sana.

"Huh, hahah!" tawa Prakely sumbang sembari menyeka mulut dengan tisu.

"Pengen gue robek kerudungnya! Sumpah! Toxic gitu belagu, solehot!" sumpah Tresi-gadis berambut panjang-dengan mata melotot marah menggebu-gebu.

Gadis yang disebutkan tengah memangku buket mini dan terlihat celingak-celinguk mencari seseorang di dalam sini.

Prakely berdecak sebal, kebahagiaannya perlahan luntur saat langkah gadis berjilbab hitam itu tengah berjalan ke arahnya dengan senyuman terpantri di wajah munafik tersebut.

"Kak! Selamat atas kelulusannya!" sapa gadis itu sangat ceria. Mungkin matahari saja kalah terang jika diadu dengan wajah berseri milik gadis itu.

Prakely kembali berdecak. "Pergi lo!" usir Prakely dengan nada rendah.

Shoba memberengut muram atas usiran Prakely. Belum lama sudah disuruh pergi dari sini, padahal ia bela-belain cuti kerja untuk mendatangi kampus kelulusan Prakely, lho!

Prakely menarik tas selempang Shoba lalu ia berdiri menyamping dan berbisik keras di sana, "Pergi lo! Bawa barang lo! Gua nggak butuh!" tandas Prakely, tangannya menyusur meja dan mendapatkan botol minuman.

"Aku minta maaf, Kak Pra." Shoba menunduk dan mencoba menjaga jarak dari jangkauan Prakely.

Shoba tahu jika nada bicara Prakely seperti itu, maka Prakely sebentar lagi akan meledak. Kebiasaan yang Shoba ketahui, bahkan Shoba menulisnya untuk mengingat perundang-undangan rumah Prakely.

Pasal 1 ayat 1 : Jika Prakely marah, ia mudah membanting apa saja ke arah lawan.

"NGGAK!! GUA SUDAH JELEK DI MATA ORANG LAIN! GUA JELEK GARA-GARA OMONGAN LO!" Emosi Prakely pun tidak bisa ia bendung lagi. Botol yang dipegang langsung menimpuk wajah Shoba.

Shoba meringis pelan, "Sssss ..., kapan aku ngomongin, Kakak?" Shoba meminta penjelasan atas tudingan yang dilayangkan kepadanya.

"NGGAK USAH LUPA LO! TOXIC! BANGSAT!"

Sedative (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang