Bab 19. Kopi

29 8 5
                                    


Seutas harapan yang kamu berikan, mampu melupakan faktamu yang mengerikan. Benar kata mereka, yang baik belum tentu tidak buruk, juga sebaliknya. Kita adalah orang yang sama meski pada kalangan berbeda.

Shoba Dafina Mahya

Sedative (Obat Penenang)
.
.
.

Beberapa hari setelahnya ...

Seperti pagi biasanya, Shoba bangun dan kali ini ia tidak rumah ibu kost untuk bekerja. Ibu kost ingin menghadiri acara pernikahan tetangga, katanya.

Semua penghuni kost juga diundang. Mereka akan makan pagi di sana. Lumayan menghemat pengeluaran di hari libur.

Semakin hari, Shoba semakin dekat dengan ibu kost dan Fitri. Pulang bekerja dari warung Bu Hayu pun Fitri dan dirinya berjalan bersama.

Shoba sedikit tahu jika Fitri sudah enam tahun bekerja untuk dirinya sendiri karena ia sebatang kara. Keluarganya tidak lagi datang mencarinya. Fitri mengatakan ia sakit hati karena batal bertunangan dan berakhir lari ke kota.

Kalau ditelaah, penghuni kota memiliki kisah perjuangan hidup berbagai versi. Sebut saja sebagian yang beruntung, sisanya ada yang lari dari masalah. Lalu ada beberapa yang harus menanggung beban hidup karena pilihannya sendiri bertarung di zona kota, seperti Shoba.

Tapi percayalah, jika jauh dari rumah akan membentuk kemandirian teguh yang tidak akan bergantung kepada orang lain di masa sulit. Karena mereka sudah melewati semua rasa.

Shoba menghabiskan waktu pagi untuk merangkum beberapa buku sebagai referensi tugasnya yang akan dikumpul besok. Saking fokusnya ia melupakan seseorang telah membuka pintu dan duduk di sampingnya dengan wajah bantal.

"YA AMPUN!" pekik Shoba sangat terkejut. Ia hampir terjungkal jika tidak berpegangan pada kasur.

Sang terdakwa hanya menyuguhi wajah tanpa dosa. "Tumben nggak ada kopi?"

"Raja-raja! Enak sekali kamu hidup," sindir Shoba kepada sikap Hijaz yang selalu mendapat segelas kopi jika ia membuka mata di pagi hari. Hal itu tentu dipinta Hijaz kepada ibu kost, berbandrol sepuluh ribu satu gelas, satu hari, di pagi hari, sebelum ia beraktivitas.

Catatan pentingnya, diracik oleh Shoba dan diantar ke kamarnya jika ia berada di sini.

"Bikinin Shob, gue ngantuk kalau nggak minum kopi." Hijaz menggeser bokongnya mendekati kasur Shoba yang masih terhampar. Ia langsung menjatuhkan diri di sana dan mencari posisi nyaman untuk kembali terlelap.

"Ih, aku lagi nugas. Bikin sendiri sana!" tolak Shoba.

"Malas."

"Aku juga."

"Lo perempuan. Nggak boleh malas. Nanti dapat suami kayak gue, mau?" celetuk Hijaz.

Hijaz tidak mendapat jawaban. Ia lantas berbalik, tidak ada Shoba di sana. Tawa keras pun pecah, sebegitu takutnya kah gadis itu disatukan dengannya? dasar Shoba! Apa gadis itu tidak sadar jika bersama dirinya ekonominya terjamin?

Oh, memang faktanya 'kan?

Hijaz bangkit masih dengan selimut menempel. Ia mengambil kertas-kertas yang ditinggalkan oleh Shoba. Tugas Akuntasi tidak berbeda dengan tugasnya di Fakultas Hukum, sama-sama mengandung angka. Bedanya punya Shoba itu hitungan dan miliknya sebuah pasal.

Hijaz menajamkan pendengarannya saat suara Shoba seakan berteriak di luar sana. Disusul suara dari atas loteng. Hijaz yakin, Shoba tengah berbicara dengan rekan kerjanya.

"Baju apa kamu Shob?" Fitri menyembul di gantungan baju basah, ia menatap ke bawah mencari sosok yang berbicara sejak Shoba membuat kopi di dapur ibu kost tadi. Mereka berjanji untuk kekondangan jam sembilan nanti.

Sedative (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang