Jika aku bisa memilih takdir, bisakah aku tidak pernah bertemu dengan keluarga ini? Oh ayolah, aku capek menjadi miskin. Dan aku lebih capek jika dengan kemiskinanku harga diriku tidak ada nilainya lagi di mata mereka.(Shoba Dafina Mahya)
Sedative (Obat penenang)
.
.
.
Sejak pagi hari Shoba sibuk menyiapkan beberapa menu makanan untuk keluarga Prakely. Katanya kakek dan nenek mereka akan berkunjung.
Ada ayam panggang, nila bakar, ikan lele goreng bahkan sayur-mayur ditata rapi pada meja beralas. Shoba juga menyiapkan beberapa jus buah untuk melengkapi acara makan keluarga ini.
Terdengar gelak tawa dari pintu masuk, Shoba memastikan sebentar ke depan, ternyata kakek dan nenek Prakely sudah tiba.
"Dessertnya jangan lupa."
Shoba mengangguk patuh saat Ibu Erin melewatinya di tangga. Ia kembali ke dapur untuk membuat makanan penutup. Mungkin puding? Entahlah, Shoba belum pernah membuat dessert.
Sibuk mengaduk bahan, Bapak Anwar tiba-tiba datang menjenguk pekerjaan Shoba. "Shob, nanti kalau nenek nanya, bilang aja kamu pembantu tambahan."
Shoba mengeratkan pegangan pada gagang pengocok telur. "I-iya, Pak."
Toh tidak ada kakek dan nenek pun Shoba di sini seperti babu. Tapi tanpa digaji sepeserpun. Sebenarnya hatinya sakit untuk menyetujui, rasanya harga dirinya jatuh hingga ke kerak bumi.
Bapak Anwar berjinjit mengambil gelas di lemari gantung, satu tangannya berpegangan pada bahu Shoba. "Sebentar," ujarnya supaya Shoba tidak bergerak agar tidak ada yang jatuh.
Setelahnya Bapak Anwar menjauh dari area dapur membawa gelas kosong, mungkin Bapak Anwar ingin meminum sesuatu yang lain, pikir Shoba.
Belum lima menit, kerudung segi tiganya ditarik ke belakang membuat Shoba oleng menumpahkan kocokan telur yang ia pegang.
"KAMU YA! SENGAJA GODAIN SUAMI SAYA?!" hina Ibu Erin.
Shoba merintih tangannya yang kotor mencoba melepaskan genggaman Ibu Erin di kepalanya. Rasanya seluruh anak rambutnya rontok saking kuatnya Ibu Erin menarik kerudungnya.
"I-ibu, saakiit! Uhuk-uhuk!" Shoba terbatuk pelan, tenggorokannya tercekat akibat peniti di bawah dagunya ikut tertarik ke belakang.
"DASAR NGGAK TAU MALU! UDAH NUMPANG! MALAH KEGATELAN!" maki Ibu Erin sangat sengit. Ibu Erin mendorong tubuh Shoba ke depan membentur set kitchen.
"A-aku nggak, Bu. Aku nggak kayak gitu."
"IIHH!! NGGAK TAU MALU! JALANG!" Prakely melempar penggiling kayu tepat mengenai bahu Shoba.
Dan selanjutnya Prakely melempar semua benda ke arah Shoba. Suara tumpang tindih tersebut menggema hingga ke teras.
Dapur mereka lantas bak kapal pecah saat Bapak Anwar, kakek dan nenek tiba di sana.
"Ada apa?" tanya kakek.
"Ini, Shoba kepeleset. Makanya berantakan, aku juga tadi kaget kenapa suara keras berasal dari dapur," bohong Ibu Erin.
"Nenek kira Prakely yang jatuh." Nenek mengusap sayang kepala cucunya.
"Iiih, Nenek! Aku nggak senyaring itu kalau jatuh." Prakely memanyunkan bibir.
Shoba berdecih membantin. Siapa di sini yang munafik? Siapa di sini yang bermuka dua? Apakah Shoba yang mengatakan Prakely gendut, atau dua keluarga hangat yang kejam dengan orang lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sedative (Selesai)
Teen FictionSedative . . . {Obat penenang untukmu yang menginginkan kesenangan} . . . Hidup nomaden di kota asing membuat Shoba merasakan suasana rumah singgah yang bervariasi. Sebelum memutuskan mengontrak sendiri, ia ditampung oleh seorang pilot maskapai ter...