Bab 25. Pekarangan

24 9 2
                                    


Aku dan kamu memang selalu bersama dalam beberapa moment. Tapi semua itu tidak menutup kemungkinan penguasa semesta memisahkan kita. Hanya dengan satu ucapannya, kita yang tadinya dekat menjadi berjarak.

Tresi Olivia Rigato

Sedative (Obat Penenang)

.
.
.

Bu Hilda berdiri dari duduknya saat menatap pintu terbuka menampilkan Tresi beserta ibunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bu Hilda berdiri dari duduknya saat menatap pintu terbuka menampilkan Tresi beserta ibunya. Ia lantas melangkah memangkas jarak antara mereka lalu tanpa permisi menarik Tresi ke dalam pelukannya. "Ya ampun! Maafin anak Mama, ya Nak? Mama nggak tahu kelakuan dia kayak gitu di belakang kita selama ini."

Bu Hilda sengaja mengajak keluarga Tresi untuk makan malam bersama di rumahnya sekaligus membicarakan anaknya yang dilaporkan oleh Tresi, anaknya yang lain———perempuan yang sudah ia anggap seperti anak sendiri.

Tidak! Bukan seperti yang terlintas di benak kebanyakan sisi akan memusuhi Tresi karena mencoreng nama baik keluarga mereka. Justru Bu Hilda berterima kasih atas tindakan tepat Tresi yang langsung mengabari polisi.

Dengan begitu semoga Hijaz jera.

"Da, aku sebagai Ibunya Tresi minta maaf kelancangan Tresi yang nggak berpikir dua kali, maaf bikin kamu banyak pikiran jadinya," sela Bayati———ibu Tresi.

Bu Hilda merenggangkan pelukan lalu beralih memeluk sahabatnya. "Justru aku yang khawatir kamu bakal kepikiran."

"Maafin Tresi, Ma," pinta Tresi seraya menunduk anggun.

"Anak-anak kita harus diurus yang benar ke depannya. Kita sibuk ngebisnis terus jadi ya gini." Bu Bayati melepaskan pelukan, tangannya mengelus bahu Bu Hilda untuk menyalurkan kekuatan.

Bagaimanapun, menjadi seorang ibu tidaklah mudah, apalagi mereka merangkap jabatan sebagai pebisnis kota yang akan sibuk memasarkan produk ketimbang duduk santai menemani anak nonton tv.

Senyaman-nyamannya hidup bak firdaus di dunia, tidak akan senyaman surga akhirat yang tidak memikirkan konsekuensi apapun lagi. Begitulah pilihan hidup, jika memegang satu, ada satu yang harus dikalahkan.

"Udah datang ya? Ayo kita makan, Papa udah lapar," ucap Pak Dalih saat keluar dari kamar kantornya melalui ruang tamu, ia membawa setumpuk berkas sembari melangkah ke meja makan.

"Ayo Tresi." Bu Hilda menggapai tangan Tresi lalu membawanya diiringi Bu Bayati yang mengekori mereka sambil memijat punggung Bu Hilda yang tampak kelelahan.

"Ada atau nggak ada Hijaz rasa sama aja. Haduhh anak itu! Sampai bingung saya kenapa bisa kecolongan padahal cctv nyala terus di rumah." Pak Dalih membalikkan piring di hadapannya untuk ia gunakan sebagai alas makanan.

"Sekarang Hijaznya udah di Lapas?" balas Tresi menatap penuh pada calon mertuanya ini.

"Udah, di Karang Intan. Di sana dulu katanya." Bu Hilda menghadiahi paha ayam bakar di piring suaminya. Ia juga mengambilkan untuk semua orang dan menyajikannya di piring yang ada di hadapan masing-masing.

Sedative (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang