Bab 2. Rumah Prakely

52 17 10
                                    


Aku tidak menyalahkan mereka. Tapi ingin kutanya, adakah sedikit saja rasa kasihan mereka kepadaku? Andai mereka pada posisiku, bisakah menahan semuanya?

(Shoba Dafina Mahya)

.
.
.

Shoba bangun lebih pagi dari pemilik rumah, ia akan memasak, mencuci pakaian kotor dan membenahi rumah dari dalam hingga ke halaman.

Hampir satu Minggu Shoba menumpang di rumah Prakely. Awalnya juga Shoba menolak, tapi karena Bapak Anwar merasa kasihan, dan kebetulan bibi di rumah lagi sakit parah, jadilah Bapak Anwar memaksa Shoba untuk tinggal di rumahnya sebagai anak angkat. Shoba pun menyanggupi membersihkan dan menyiapkan masakan untuk penghuni ini, sebagai gantinya, rumah ini menyediakan makan dan tempat tidur untuk Shoba.

Anak angkat ngebabu tanpa digaji, nasibnya lebih buruk dari ART rumah tapi mempunyai upah. Ya setidaknya ia tidak membayar makan dan tempat untuk tidur, tooooh? Shoba berusaha bersyukur untuk itu.

Awalnya keluarga Bapak Anwar ramah-canggung, tapi semakin ke sini, Shoba semakin tahu bagaimana mereka sangat tidak menyukai kehadiran Shoba.

Prakely tidak suka dengan Shoba yang periang dan cepat bergaul dengan lingkungan. Membuatnya lengser dari singgasana anak tersayang. Apalagi Shoba diklaim bapaknya menjadi anak angkat.

Adapun Ibu Erin sangat julid karena pekerjaan Shoba kadang tertinggal beberapa karena mengejar kerja paruh waktu dan jam kuliah. Ibu Erin menjadi jengkel.

Shoba telah memasak sewajan nasi goreng, aromanya menguar di sudut dapur membuat perut kecilnya berbunyi minta diisi. Sejak semalam belum makan, mungkin setelah ia mandi akan menyantap sarapan lalu pergi ke kampus.

"Pagi, Bu," sapa Shoba pada Ibu Erin yang menutup pintu kamarnya.

Muka bantal itu langsung menampilkan wajah masam tanpa niat menjawab sapaan Shoba.

Shoba tersenyum dan berlalu tiga langkah di sana. Langkah ke empat senyum di wajah Shoba luntur, rautnya menjadi datar seakan tidak pernah melakukan interaksi tersebut.

Basa-basi adab keramahan dilakukan Shoba meski tidak dianggap. Toh Shoba siapa? Penumpang! Shoba sadar kok. Shoba sudah mencoba ramah, kan?

"BABU!! ITU KAOS KAKI KENAPA MASIH DI SOFA?! NGGAK BECUS AMAT BERSIHIN RUMAH!"

"M-maaf, Bu."

Shoba berbalik, ia lantas membungkuk sedikit saat berlalu di hadapan Ibu Erin menuju sofa putih. Ia meruntuki dirinya melupakan kaus kaki Prakely. Padahal baru kemarin dipakai oleh kakaknya itu, masih wangi dan bersih, lho!

"KALAU NGGAK NIAT BERSIHIN. NGGAK USAH TINGGAL DI SINI! MENYUSAHKAN! CUMA NGANGKAT KAOS DOANG MALAS! PANTAS DIBUANG ORANG!"

Lihatkan, cuma masalah sepele Ibu Erin sudah teriak marah-marah. Walaupun berstatus anak angkat, hati mana yang tidak remuk saat pekerjaan yang selesai dihina sedemikian rupa cuma karena satu agenda terlewatkan.

Shoba mencuci kaus kaki tersebut lalu menjejernya di gantungan bersama pakaian basah yang lain. Ia lantas masuk kamar mandi membersihkan diri.

Hari ini ada kelas pagi, ia harus cepat jika ingin menghemat ongkos dengan berjalan kaki ke Unlam. Beruntung rumah Prakely tidak terlalu jauh dari kampusnya, jadi Shoba memilih berjalan kaki jika tidak mendesak.

Membutuhkan 30 menit bersiap, ia kembali ke dapur untuk sarapan. Namun naas, sewajan nasi goreng telah lenyap dari kompor. Matanya menatap sayu pada piring bertumpuk di wastafel, mereka sarapan sekeluarga dengan lahap rupaya.

Sedative (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang