9. Day 6.2.

942 136 176
                                    

"Bisa nggak sih, kita hidup normal?"
Kalimat tersebut membuat Hera menghentikan langkahnya.

Iris mengubah posisinya menjadi duduk, sepasang matanya menatap datar pakaian mamanya. "Gue tau lo capek jadi pelacur," sambungnya.

"Makanya lo nggak usah ikut-ikutan jadi pelacur, bego!" balas Hera keki.

"Kalau gue minta lo berhenti bisa?" Iris bertanya, meskipun tidak segera dijawab oleh sang mama.

Wanita itu tidak berekspresi, sebelah tangan yang ia sembunyikan di belakang punggung terkepal kuat. "Nggak usah peduliin pekerjaan gue kalau lo masih mau kita hidup dengan layak," jawabnya ketus.

Tersenyum sinis, Iris bangkit sambil melipat tangannya, gadis itu tak segan menatap balik netra wanita di depannya. "Emang sekarang kita bisa dikatakan layak? Lo jual diri setiap malem dan-"

"EMANGNYA APA YANG BISA GUE LAKUIN SELAIN JUAL DIRI?" potong Hera, matanya mulai memanas, urat-urat di lehernya tercetak jelas.

"LO PIKIR DI JAMAN SEKARANG MASIH ADA ORANG YANG MAU NERIMA PEKERJA TANPA IJASAH DAN NGGAK PUNYA KETRAMPILAN APAPUN?"
Pertanyaan Hera membuat Iris mengatupkan bibirnya, kakinya mundur beberapa langkah.

Menarik napas, wanita dengan dress mini hitam itu mengusap kasar air matanya.
"Gue nggak lulus sekolah, nggak bisa bersih-bersih, nggak bisa masak, kotor dan rusak. Lo pikir gue harus apa selain manfaatin wajah cantik dan tubuh gue?" tanya Hera dengan tawa sumbang.

Hera mengulas senyum. "Gue ibu yang bodoh, Ris. Gue nggak bisa kasih contoh yang baik dan didik lo dengan benar. Gue cuma bisa terus ngingetin, tolong ... jangan jadi kayak gue," pesan wanita itu.

Bahwasanya alasan Iris selalu diam tanpa mengutarakan perasaannya karena ini. Ia benci dengan situasi di mana Hera yang selalu merendahkan dirinya sendiri.

Gadis itu membuang muka, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.

"Gue mohon, bertahan sebentar lagi. Gue minta maaf karena pekerjaan gue bikin lo malu. Kita tahan hinaan orang sama-sama ya? Gue janji ini nggak akan lama," jelas Hera.

"Maksud lo apa?" Iris langsung menoleh dengan tatapan menuntut.

"Gue masih ngumpulin duit biar bisa masukin lo ke sekolah di luar negeri. Belajar yang bener, buka lembaran hidup baru di mana nggak ada satu orang pun yang bakal ngejek lo lagi karena punya mama pelacur kayak gue." Hera tersenyum bersama dengan air mata yang meluncur tanpa permisi.

"Setelahnya lo bisa cari kerja di sana, cari cowok baik-baik dan nikah tanpa perlu kenalin gue sebagai orang yang udah lahirin lo."

Tenggorokan Iris tercekat. Hatinya mencelos, perih dan sesak menguasainya.
"Lo mau buang gue?" Kalimat itu yang lolos dari bibirnya, padahal Iris paham mengapa Hera mempunyai rencana seperti itu.

"Iya, gue berniat buang lo," bohong Hera.

"Untuk kesekian kalinya gue nyesel kerena ngobrol sama lo." Mengakhiri kalimatnya, gadis itu melangkah setelah menubrukkan bahunya.

***

"Karena malam ini kita beneran pacaran, kamu ada usul panggilan romantis nggak?" Lembayung meraih jemari Iris untuk ia ajak menyusuri wahana pasar malam.

"Gue nggak pernah protes soal panggilan," jawab Iris dengan wajah yang masih terlihat badmood. Untuk terlihat profesional, gadis itu tersenyum kecil, berusaha ramah.
"Gue selalu nurut sama klien. Mau yang, beb, tsay, bunda, mama, mami, cayank dan lainnya, gue pasti terima," paparnya.

Lembayung tergelak. Cowok itu mengayun-ayunkan lengan Iris. "Saya panggil kamu Eneng, kamu panggil saya Aa', gimana?"

Iris mengangguk karena ia memang tidak pernah protes.

Paket 30 Hari(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang