18. Day 12.

734 109 4
                                    

"Lo nggak akan bunuh diri di tengah-tengah rel, iya kan?" selidik Iris, sepasang matanya menyipit penuh intimidasi.

Mendapatkan pertanyaan yang menurutnya sangat lucu, Lembayung tentu tak tahan untuk tidak tertawa. Sebelah tangannya bahkan turut bergerak mengacak rambut panjang sang kekasih yang dianggap sangat menggemaskan.

"Diri saya begitu hebat dan berharga, bagaimana mungkin saya berniat membunuhnya?" Ia balik bertanya.

"Sok banget anjir." Sang gadis menggerutu, kepalanya menunduk dengan mulut yang berpose seperti ingin muntah.

Tawa Lembayung kembali mengudara.

Untuk sesaat, Iris terdiam.

Diam-diam ia tersenyum. Sudah ia bilang, tawa itu membuatnya candu. Suaranya, mata bulan sabitnya, sampai lubang hidungnya, mengapa dia seolah menyihirnya?

Membuang napas, sebelah kaki Iris bergerak menendang  tulang kering Lembayung hingga sang empunya meringis kesakitan.

Iris memang suka dengan tawanya, tapi melihat kesukaannya untuk waktu yang lama bisa membuatnya celaka.

"Pacar saya kok galak banget sih?" Lembayung masih sempat-sempatnya menggoda.

"Ngapain ke sini?" tanyanya bersungut-sungut. Bingung mengapa cowok itu menghentikan motornya di pinggir jalan dekat rel kereta api yang tanpa palang.

"Mungkin nggak berarti apa-apa, tapi mungkin aja bisa menyelamatkan nyawa manusia," jawabnya berbelit-belit.

Wajah Iris sudah menjadi sedatar jalan tol. "Ngomong yang bener!"
Lantas diraih lah jemari yang menggantung bebas di sisi kanan.

Tanpa menjawabnya lagi, cowok itu membawa Iris mendekati seorang pria tua yang berdiri di pinggir rel kereta dengan bendera morse di genggamannya.

"Dia nggak dibayar, juga nggak ada yang nyuruh. Dia Lelah, kepanasan, kehujanan, tapi nggak pernah mengeluh," ujarnya.

Hanya ada satu ember penampung receh. Dia tidak memaksa semua orang memasukkan recehan yang dimiliki ke dalam ember usang yang sudah pecah sedikit itu.

Lagi-lagi Iris tidak bisa langsung memahaminya. Kini tatapannya terfokus penuh ke arah pria itu. Ia melihat bagaimana tubuh ringkih dan lelahnya mengelap keringat di sela-sela aktifitasnya yang sedang membantu para pengendara menyebrangi rel.

Tidak ada palang, tidak ada lampu dan suara pemberitahuan.
Seharusnya jalan ini dilarang.

"Ini jalan sepi, sempit lagi. Kalau nggak dipasang palang kereta kenapa nggak ditutup? Aneh."

"Kalau warga di sini harus memutar, jauhnya bisa memakan waktu berjam-jam. Nggak semua orang punya waktu senggang, Ris." Lembayung menjawab.

Iris melipat tangannya. "Mending berjam-jam daripada mati keserempet karena nggak tau kapan keretanya lewat," balasnya.

"Kasus kematian paling banyak adalah kecelakaan, dan salah satunya ini. Ketabrak kereta kerena lewat perlintasan tanpa palang," ujar Lembayung.

"Terus tujuan lo tuh apa? Buat palang kereta?" tanya Iris setengah kesal, ia mulai lelah berdiri.

Pria itu merentangkan kedua tangannya, menyuruh pengendara yang akan lewat berhenti, Iris mengernyit. Setelahnya, ia terlonjak kaget ketika kereta api lewat dengan kecepatan penuh, kaget bukan main.

"Kaget bangsat!" umpatnya.

Lembayung seolah tahu, dia sama sekali tidak terlihat kaget.
"Kalau bapak itu nggak ada, mungkin orang-orang tadi masih pada nyebrang," gumamnya.

Paket 30 Hari(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang