19. Day 13.

722 106 2
                                    

Pagi-pagi sekali Hera harus dibuat jengkel sebab Lembayung datang merecokinya. Putrinya bahkan masih belum membuka mata, tapi anak laki-laki ini justru sudah tersenyum lebar dengan seragam rapinya.

"Ma, lama nggak ketemu," kata Lembayung sambil menyodorkan tangannya, seperti mau meminta uang saku, padahal ia berniat mencium tangan mama Iris.

"Gue sering lihat lo nganterin Iris, tapi gue mager nyamperin lo," jawab Hera sekenanya. Matanya memincing tajam. "Gue udah kasih peringatan biar kalian nggak terlalu dekat, tapi kenapa masih kayak perangko, Njir?"

Lembayung menggaruk tengkuknya. "Mungkinkah saya dan Iris emang nggak terpisahkan?"

Hera lantas memberikan jitakan maut di kening Lembayung. Wanita itu nencepol asal rambutnya sambil menguap beberapa kali, kantung matanya terlihat besar dan menghitam, jelas sekali karena lelah dan kurang tidur. "Gue belum buat sarapan, duh, lo datangnya kepagian! Mau bodoamat, tapi nggak tega," imbuhnya.

Yang jelas pasti Lembayung belum sarapan. Sebagai wanita yang punya anak seusia cowok itu, Hera tentu tidak akan bisa bersikap bodoamat.
Membayangkan ketika putrinya main ke rumah temannya dan tidak ditawari makan membuatnya dilanda rasa gundah.

Sepasang mata Lembayung menjelajah ke sekitar. "Iris belum bangun? Mau saya bantu bangunin?" Pertanyaannya segera mendapatkan tempelengan kasar di kepalanya.

Lembayung tersenyum, bahunya melotot setelah mendapat semprotan caci maki dari ibu sang kekasih. "Maaf, Ma ... padahal saya cuma berniat bangunin," gumamnya.

"Sama modus sedikit?" sergah Hera garang.

Dibalas lah gelengan panik dari Lembayung. "Kalau gitu, saya buat sarapan aja deh."

***

Iris memukul pelan lengan Lembayung ketika cowok itu sengaja menyodorkan tangannya agar dicium.

"Apa saya harus nikahin kamu dulu biar tangannya dicium kayak suami istri?" Ia bertanya dengan nada jenaka.

Seperti jilat ludah sendiri, Iris yang tadi menolak, sekarang justru mengambil tangan Lembayung dan mencium punggung tangan cowok itu. "Puas lo?" tanyanya tajam.

Aksinya mendapat berbagai komentar dari siswa siswi yang melihat.

Lembayung mengulas senyum manis. "Puas lagi kalau saya bisa nikahin kamu," gumamnya.

"Gue masuk dulu," pamit Iris yang hendak masuk ke dalam gerbang. Namun, cekalan di pergelangan tangannya membuat ia terhenti dengan terheran-heran. "Apalagi?"

"Tadi malem saya lihat jepit rambut ini, lucu," jawabnya.

Satu alis Iris terangkat, matanya menatap jepit rambut tersebut dengan perasaan bermacam-macam. "Ya terus?"

"Coba deketan dulu sebentar."

Iris menurut, gadis itu berjalan mendekat dengan sedikit menunduk, memberikan akses untuk Lembayung memakaikan jepit itu tersebut di rambutnya.

"Cantik," pujinya tulus.

"Alay!" Iris segera melepas dan mengembalikannya. Ia tidak suka memakai aksesoris untuk rambutnya, terlebih jepitan rambut lucu seperti ini. Sangat tidak cocok untuk karakternya.

Lembayung menekuk bibirnya ke bawah, bahunya merosot lemas. "Padahal kamu cantik banget tau."

"Gue udah cantik tanpa printilan kayak gitu! Malah alay tau nggak? Kayak ondel-ondel! Mending lo sendiri yang pake!" gerutunya.

Sedetik kemudian, Iris menyesali ucapannya. Melihat wajah kecewa Lembayung membuat hatinya menjadi tidak tenang.

"Yau—"

Paket 30 Hari(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang