Barata sampai di rumah, dan seperti biasa hanya dirinya yang ada di sana.
Tidak ada hal spesial yang dapat menjadikan hidup Barata sama dengan anak-anak remaja lain seusianya. Satu-satunya yang tersisa dan dimiliki Barata adalah kekosongan. Rumah yang kerap menyapanya dalam sepi tidak pernah memberikan kehangatan yang dirasakan orang lain. Hanya ada kesunyian acap kali Barata tiba di rumah setelah pulang sekolah.
Bagaikan rutinitas, Barata segera melangkahkan kakinya ke kamar. Setelah meletakkan tasnya di sembarang tempat, ia beranjak ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Tidak begitu lama setelah selesai, Barata sempat berpikir untuk menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan. Atau sebenarnya yang diinginkan hanyalah lari dari pikiran acak yang sudah hampir memenuhi isi kepalanya. Meski begitu, Barata tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia sama sekali tidak punya ide mau melakukan apa; buntu.
Dengan memakai kaus putih polos dan celana dasar hitam, Barata memilih untuk melompatkan diri ke kasur dan mulai menyeberangi alam bawah sadar. Begitulah niat awalnya. Sampai akhirnya, sesuatu yang lebih besar mengalihkan pikiran dalam pejaman matanya. Kata-kata Agathias sungguh merekat dalam benaknya sore hari ini.
Helaan napas terdengar kencang di rumah yang sepi itu. Kedua bola matanya menatap sayu ke arah langit-langit kamarnya yang dicat abu-abu. Sesaat, sunyi menjadi lebih luas. Cuma deru napasnya sendiri yang Barata dengar selagi ia melamun tidak jelas. Degup jantungnya tak kunjung berhenti, namun terus berdebar tanpa maksud. Mungkin sebenarnya ada alasan mengapa Barata merasa kacau. Mungkin yang Agathias katakan benar adanya. Ia terlalu menutup dirinya. Barata hanya harus sedikit membuka diri.
Ia tiba-tiba bangun setelah berdecak kesal. Tubuhnya mulai dipaksa berdiri dan mulai mencari-cari sesuatu yang setidaknya bisa mengalihkan pikiran sejenak. Barata membongkar semua pintu yang bisa dibuka. Entah itu pintu lemari belajar, nakas, mengintip di bawah kasur, sudut kamarnya, lemari pakaian, apapun itu. Seolah yang ia butuhkan adalah sebuah pelampiasan semata. Mencari-cari sesuatu yang tidak jelas wujudnya. Terus mencari sampai sudut atensinya tertuju pada boks hitam di sudut ruangan di dekat balkon kamarnya.
Tidak berat, pikirnya begitu mengangkat boks tersebut.
Barata membawa boks tersebut ke atas kasurnya. Tanpa aba-aba, ia membuka tutup boks tersebut dan mendapatkan sesuatu yang tidak pernah muncul dalam ingatannya. Terkejut. Hanya itulah yang dirasakan Barata saat itu. Anehnya, rasa penasaran selalu lebih besar. Tangannya mulai bergerak, mengeluarkan satu per satu isi yang tertumpuk di dalam boks hitam itu.
Bukan sesuatu yang penting ketika Barata mengambil salah satu buku dari empat buku serupa yang mirip dengan binder. Namun, bukan itu yang menjadi pusat perhatiannya. Barata mulai menyibak setiap lembaran. Isinya adalah curhatan singkat; kata-kata manis yang bukan ditulis olehnya. Dan sebagian besarnya adalah tempelan foto. Wajahnya dengan Niskala.
Ia menjadi lebih terburu-buru. Sampai lembar terakhir, benar-benar hanya ada foto mereka berdua.
Barata beralih. Melihat sesuatu yang lain. Sebuah note book bersampul biru laut yang isinya adalah lirik-lirik lagu atas nama dirinya. Tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan rasa terkejutnya. Mengetahui semua hal yang tidak ia ketahui dalam sejenak benar-benar membuat kepalanya berdenyut kesakitan.
Barata meremas dadanya. Kamar itu terasa menjadi sangat pengap; sesak. Napasnya kemudian menjadi tak stabil. Bahunya sontak naik-turun. Telinganya berdenging panjang dan begitu memekak. Berkali-kali Barata bergumam, memanggil entah siapa. Lantas tak kuat, tubuh tinggi itu bergegas berdiri dan pergi dari kamar. Ia menuruni tangga. Entah kenapa, ia hanya ingin cepat pergi dari ruangan tersebut.
Barata berlari. Belum siap dengan kenyataan yang ia Dapatkan. Memilih untuk beranjak ke dapur dan setidaknya meneguk setengah isi botol air mineral. Akan tetapi, belum genap ia menyelesaikan langkahnya di lima anak tangga terakhir, Barata sudah tergeletak dan tidak sadarkan diri di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐇𝐄𝐋𝐋𝐎, 𝐒𝐈𝐌𝐒!
Teen Fiction[ COMPLETED ] Cerita dimulai sejak munculnya Barata Aswatama, siswa IMS--International Mandala School--dengan kesabaran setipis kertas dan bertemperatur kasar yang akhirnya kembali masuk sekolah setelah mengalami kecelakaan di awal tahun ajaran baru...