19 || PERANGKAP

3 3 0
                                    

Niskala menggertakkan giginya. Sekilas matanya melirik ke arah Pak Noer yang jatuh pingsan di sebelahnya. Siapa yang menyangka kalau akan jadi seperti ini akhirnya. Meskipun Niskala sudah memperhitungkannya tindakan Danuar ini sebagai salah satu variabel yang mungkin akan terjadi, tapi menjadi realitas tidak termasuk ke dalamnya.

Sesaat Niskala lupa dengan siapa dirinya berhadapan. Dalang dari pelaku kecelakaan Barata. Orang yang tidak akan segan melakukan sesuatu demi terwujud keinginannya.

Sementara itu, Niskala hanya duduk dengan tenang. Sinyal daruratnya sudah dikirimkan pada Yosa, berbunyi pesan bahwa Danuar menjadikannya dan Pak Noer sebagai sandera. Kini, Niskala hanya tinggal memancingnya.

“Apakah Anda menikmati permainan ini?”

Danuar yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya kini memfokuskan atensinya pada Niskala. Ia tidak tahu bagaimana jalan pikiran gadis itu. Alhasil, Danuar meletakkan ponselnya di saku celana.

“Saya sungguh terkejut. Sejujurnya, melihat kamu kembali dengan tampang sok berani itu membuat saya sedikit muak.”

Niskala tersenyum sinis. “Oh, Anda meragukan mental saya? Maaf saja. Anda sepertinya tidak tahu bagaimana orang macam kami menempa diri.”

“Ck.... Padahal kamu cuma anak kalangan sampah. Tapi kamu yang paling berbahaya rupanya,” sindir Danuar. Sambil berdiri, pria itu menatap lekat ke arah Niskala. “Apa yang sudah kamu rencana sejauh ini?” tanyanya.

“Tidak ada.”

“Kamu pikir saya percaya?” Ia berdecak. “Anak saya bahkan tahu kalau kamu berencana membawa temanmu dan polisi untuk menyelamatkan kalian. Itu mudah sekali ditebak dan juga rencana yang sangat bodoh. Begitu kamu bilang ingin menangkap saya? Penjaga saya pasti bisa menghabisi polisi-polisi itu dengan mudah. Malah tanpa perlu bertarung pun masalah akan selesai.”

“Kalau sudah tahu kenapa masih bertanya?”

“Karena saya tahu kamu bukan perempuan yang seperti itu!” Danuar mendesis penuh amarah. Ia kemudian menjepit kedua pipi Niskala dengan tangannya, berharap bisa memberikan gadis itu tekanan. “Saya tidak sebodoh itu. Saya yakin kamu merencanakan sesuatu lebih dari rencana sederhana yang bodoh itu.”

Tubuh Niskala dihempas sampai jatuh ke permukaan gedung yang berdebu oleh bahan semen bangunan yang belum selesai itu. Tubuh yang diikat pada sebongkah kursi membuat jarak gerak Niskala terbatas. Sampai akhir, ia akan bersikap menjengkelkan di mata Danuar, toh ia sebenarnya sudah menahan perasaan bencinya pada pria itu. Sedikit memancing emosi juga tak ada salahnya.

“Apa yang kamu rencanakan, hah?” Danuar berjongkok, kini menjenggut rambut hitam Niskala sampai kepala gadis itu mendongak ke atas. “Saya tahu otak operasi ini adalah kamu! Jujur! Atau temanmu akan mati seperti putra Aswatama itu!”

“Barata tidak mati!”

“Terserah kamu saja. Setelah aku bereskan temanmu, kamu dan gurumu selanjutnya. Lalu si Aswatama itu akan jadi yang terakhir.” Danuar kembali berdiri. Lalu menepuk-nepikkan tangannya seolah habis menyapu debu. Berdiri di hadapan Niskala, membuat senyuman sinis terbit di wajahnya.

“Kamu ingat, siapa yang berteriak paling keras bahwa kekuasaan adalah pemenang mutlaknya?” ujarnya.
Niskala menahan napas. Menahan seluruh amarah.

“Itu kamu!” Danuar tertawa kencang. “Sepintar apapun kamu, itu tidak akan berguna di hadapan kekuasaan yang lebih besar seperti saya! Kamu yang bilang itu sendiri, Niskala!”

“Jadi, diamlah di sini dan jangan ganggu kerja keras saya. Apa kamu tahu bagaimana susahnya merangkak di dunia bisnis dan politik yang hitam ini? Ah, tentu saja kamu tidak tahu. Karena golongan seperti kamu cuma jadi batu loncatan bagi orang-orang seperti saya.”

𝐇𝐄𝐋𝐋𝐎, 𝐒𝐈𝐌𝐒!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang