11 || TRAUMA

5 3 0
                                    

Januari, 2020.

Sudah satu semester berlalu semenjak Windu resmi menjadi siswa di sekolah paling bergengsi di ibukota. Siapa, sih yang tidak mau sekolah di IMS? Memegang standar pendidikan internasional dan terkenal dengan lulusan-lulusan terbaik setiap tahunnya. IMS sudah seperti sekolah tempat berkumpulnya siswa-siswi berprestasi. Bukan tanpa alasan, setiap siswa di IMS setidaknya pernah menjuarai perlombaan nasional atau internasional ketika di sekolah menengah pertama yang menjadi bahan pertimbangan pihak IMS untuk meluluskan seleksi. Lalu, ketika semua siswa-siswi dikumpulan di satu tempat yang sama--yaitu IMS--maka yang terjadi adalah persaingan ketat yang tiada akhir.

Windu salah satunya. Beruntung ia dikenalkan dunia orkestra sejak masih kecil. Membuatnya lihai berdiri di panggung bersama puluhan pemain alat musik lainnya. Meski nilai akademik tidak begitu besar, secara akumulasi Windu termasuk peringkat 50 besar di IMS. Terbukti dirinya berada di kelas X-B bersama kalangan super lainnya, Julian--saudara kembarnya sendiri, Yosa si kapten basket yang penuh taktik, sampai Catherine si mantan host cilik.

Kehidupannya di IMS aman dan damai. Apalagi Windu menemukan seseorang yang ... lumayan menarik untuk menjadi bonekanya.

“Nama lo siapa?”

“Eh? Aku?” tanya gadis itu pada dirinya sendiri. Di hadapan wajahnya, Windu hanya tersenyum tipis. Ekspresi yang selalu ditunjukkan ke semua orang yang menyapanya, apalagi laki-laki yang mengagumi paras cantik gadis itu membuat jantungnya berdebar tidak keruan. “Marina Sandekala.”

Kalau bukan berada di sekolah, mungkin Marina sudah meloncat kesenangan karena orang terkenal seperti Windu mengajaknya bicara terlebih dahulu!

Tanpa menghapus senyuman di wajah, Windu mengangguk-angguk kepala. “Nama lo cantik. Kayak orangnya,” timplanya cepat.

Marina tersipu malu. “Makasih,” cicitnya.

Bukan main, Marina sangat bahagia.

Sempat beberapa bulan yang lalu ia mendengar rumor kalau Windu bukanlah perempuan yang baik. Katanya, dia hanya berteman dengan orang-orang yang dianggap selevel dalam hal kecantikan dan kekayaan. Namun, di sisi lain Marina juga mendengar kalau Windu selalu tersenyum pada siapa saja yang menyapanya, menunjukkan keramahan.

Hari ini, ia berani menyangkal.

Windu sangat baik. Gadis cantik itu bahkan mengajak Marina ke kafetaria bersama ketiga teman lainnya, yaitu Zafina, Aneisha, dan Lintang. Hubungan pertemanan mereka menjadi erat beriring dengan berlalunya waktu. Walau kadang-kadang Marina tidak bisa mengikuti alur pembicaraan mereka, Windu selalu membantunya. Mengajak ke arah obrolan yang dapat mereka pahami dengan jelas.

Mereka dulu sangat dekat.

Sampai suatu hari tiba....

“Marina sini!” Windu memanggilnya dari kejauhan. Wajah gadis itu berseri senang. Ia segera berlari pelan menghampiri sambil mendekap kanvas kecil di dadanya. “Kamar mandi yuk, kebelet nih,” lanjut Windu merangkul Marina.

Gadis itu hanya mengangguk, setuju untuk menemani Windu ke kamar mandi. Namun, dalam sekejap mata, semua bayangan pertemanan indah di benak Marina terhapus bersama dengan luruhnya air yang dilempar ke sekujur tubuhnya.

Ia mematung di tempat. Menatap tetes-tetes air yang jatuh dari pucuk rambut, dagu, seragam, dan kanvasnya. Tanpa peringatan apapun, kedua tangannya ikut luruh dan lemas. Menyisakan bunyi dentum tak keras yang diakibatkan dari pantulan kanvas di lantai.

Mendadak pikirannya menjadi kacau. Marina tidak bisa berpikir jernih untuk menafsirkan apa yang telah terjadi saat itu. Ia mencoba mengangkat kepalanya, tapi satu tamparan kuat mendarat di pipinya dengan sangat keras. Suara menggema di dalam kamar mandi yang sepi.

𝐇𝐄𝐋𝐋𝐎, 𝐒𝐈𝐌𝐒!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang