28 || AMARAH

5 3 0
                                    

Suatu hari, tak lama setelah kebenaran tentang dirinya terbongkar.

Niskala menundukkan kepalanya. Ia tidak berani mendongak, bahkan untuk berhadapan wajah dengan kedua orang tuanya, keluarga kecilnya. Ia sungguh malu. Sejak kebenaran yang tersebar di media sosial itu sampai di telinga ayah dan ibunya, Niskala hanya bisa membenarkan dan menceritakan semuanya yang sudah lewat itu.

Tak tanggung-tanggung, ibunya marah. Namun yang membuat Niskala merasa sangat kecewa pada dirinya sendiri adalah membiarkan ibunya menangis tersedu-sedu sampai suara yang keluar menjadi serak karena terlalu banyak menangis.

“Kamu harusnya cerita, Niskala! Jangan menjadikan dirimu tameng untuk melindungi keluarga kecil ini....”

Kata-kata itulah yang menumbuk ulu hatinya.

Ibunya, Dewita, mengeluarkan segala perasaannya. Antara marah, kecewa, dan sedih. Segalanya menjadi satu dan tumpah ruah dalam tangisan di keluarga kecil yang dilanda sebuah kebenaran. Saat itu, Niskala hanya bisa mengucapkan kata maaf, berulang kali bak kaset rusak.

Setelah waktu berlalu cukup lama dan hanya ada keheningan yang tersisa, Dewita menyuruh Niskala pergi ke kamar. Istirahat katanya. Tanpa membantah sama sekali, ia beranjak ke dalam kamar meski pikirannya masih berkecamuk dan merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.

Niskala kemudian merebahkan dirinya di kasur. Benaknya berkelana jauh ke beberapa waktu sebelumnya, saat keluarganya masih baik-baik saja. Sesaat, ia mulai menyesal karena mengikuti tes beasiswa IMS waktu itu. Sejenak Niskala mulai berpikir, bahwa seharusnya ia memang sadar diri dan tidak pernah masuk ke dalam lingkungan yang bukan seharusnya ia berada. Ucapan Windu masih terngiang di telinganya. Harusnya Niskala sadar diri.

Tak lama, pintu kamarnya terbuka. Niskala segera bangun dan duduk di kasurnya, mendapati sang ayah yang berjalan mendekat ke arahnya. Arjuna membawa segalas susu cokelat hangat. Memberikannya pada Niskala dan mengatakan untuk segera diminum sebelum dingin. Niskala pasrah. Ia meneguk sedikit. Sorot matanya menangkap sang ayah yang duduk di sampingnya. Senyum tipis terbit di wajah yang lelah.

“Makasih, ya.”

Sepatah kata yang singkat, namun berhasil membuat hati Niskala kembali merembuk.

Tangis yang sempat ia hentikan tahu-tahu kembali mengalir. Semenjak tadi, Arjuna hanya diam. Memilih untuk bicara empat mata langsung pada putri sulungnya. Arjuna mengambil gelas susu itu dan meletakkan di meja nakas. Tak lama, ia menangkup Niskala. Mengusap rambut hitam anaknya dengan penuh kasih sayang di dalam rengkuh peluknya.
“Niskala minta maaf, Yah.”

“Ayah nggak pernah marah kok sama Niskala. Ayah yang gagal melindungi kamu. Ayah nggak tahu kalau kamu merasakan tekanan yang begitu besar sampai nggak bisa cerita ke Ayah dan Ibu. Ayah nggak tahu gimana sakitnya hati kamu selama ini. Maafin Ayah, ya. Ayah nggak bisa jaga kamu dan perasaanmu.”

Ia menggeleng. “Nggak, Yah.... Niskala yang salah.”

“Makasih buat anak Ayah yang hebat. Makasih sudah jadi anak yang kuat. Untuk anak Ayah yang berani melindungi keluarganya. Makasih karena Niskala selalu ada dan jaga keluarga ini. Mungkin kamu melakukan kesalahan. Tapi itu nggak buat Ayah marah sama sekali. Niskala sudah rawat Ibu setelah kecelakaan, bantu Ayah cari uang tambahan, bela Adam yang dirundung di sekolah. Kamu selalu bantu kami, di saat kami sama sekali nggak bisa bantu kamu. Ayah bangga sama kamu, Niskala.”

“Ibumu itu tidak marah, Nak. Ibumu itu sama merasakan dengan yang Ayah rasakan sekarang.”

Tangis dan isaknya semakin kencang. Seolah memberitahu pada dunia yang kejam tentang betapa sakit hati yang tengah dirasakannya. Seluruh perasaan itu Niskala curahkan dalam raungannya. Tak peduli besok suaranya hilang. Tak peduli jika besok kedua matanya memerah dan bengkak.

𝐇𝐄𝐋𝐋𝐎, 𝐒𝐈𝐌𝐒!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang