Part 31

3.1K 360 44
                                    

Shani berjalan dengan mata yang tak searah dengan langkah kaki yang membawanya pergi, pandangannya sibuk mencari sosok Sisca yang tak tahu di mana. Ada apa gerangan dengan gadis itu? mengapa wajahnya terlihat sangat sendu? apa hanya karena masalah ini? atau ada masalah lain yang sungkan Sisca ceritakan kepadanya sejak hari itu?

"Sisca ke mana sih? udah dicariin kok gak nongol-nongol?" ucapnya mulai lelah, baru saja berniat kembali tetapi pandangannya tiba-tiba terarah pada satu titik di mana seseorang sedang duduk di bangku panjang tepat di depan pancuran air yang dikelilingi lampu warna-warni.

Shani tersenyum senang, pencariannya berbuah manis meski harus diselingi letih yang luar biasa. Dengan yakin Shani langkahkan kakinya mendekat ke arah bangku itu berharap jika sosok yang dia lihat benar sosok yang sedang dia cari. Shani meyakinkan dirinya untuk menyudahi acara berlomba diam dengan Sisca, jujur dirinya sudah merindukan Sisca sejak tega pergi meninggalkan apartemen dengan kadar emosi yang tinggi waktu itu.

"Sisca.." sapanya membuat gadis yang sedang menundukkan kepala perlahan mendongak dan menatap ke arahnya.

Shani tersenyum pedih, melihat Sisca menangis dalam diam membuat hatinya sakit. Shani sudah menganggap Sisca sebagai adik, rasanya benar-benar tidak nyaman saat orang yang dianggap penting menangis karena ulah kita sendiri.

Sisca tak membalas sapaan itu malah kembali menundukkan kepalanya dengan ancang-ancang pergi membuat Shani langsung sigap menahannya. "Sisca tunggu!!"

Ucapan itu berhasil menghentikan langkah Sisca meski gadis itu tak berniat untuk berbalik menatap lawan bicaranya. Tekadnya entah mengapa memudar dari yang tadinya begitu semangat saat melihat Shani hadir. Semua perasaan rindu yang ingin disampaikan perlahan kembali tertutupi mengingat hubungannya dengan Shani tak lagi membaik.

Dirinya adalah anak dari penghancur kebahagiaan Shani, dirinya adalah anak dari seseorang yang membuat Shani habis dicaci maki bahkan dianggap hina orang lain, dirinya adalah anak dari seseorang yang mencoba kabur dengan menamengkan anaknya sendiri untuk memohon maaf atas perilaku jahat di masa kelamnya.

Nyali Sisca menguap begitu saja, dirinya tak lagi punya nyali sebesar dirinya yang lalu. Sisca benar-benar malu berhadapan dengan Shani, perasaan bersalah itu mengelilingi hidupnya sejak dirinya tahu siapa yang membunuh kedua orang tua sosok yang dia anggap sebagai kakak itu.

Setiap hari itu Sisca dikelilingi oleh pikiran negatif, bagaimana jika Gracia tahu bahwa papa nya adalah dalang dibalik kejadian mengenaskan itu? apakah Gracia bisa memaafkannya jika gadis itu tahu dirinya mengetahui semua kejadian itu tetapi memilih diam? apakah Gracia akan mengutuknya seumur hidup? apa Gracia akan membencinya seperti membenci Shani waktu itu?

Pikiran-pikiran negatif itu terus memasuki kepala Sisca hingga tak sadar tubuhnya kini di dekap seseorang begitu erat dari belakang, seseorang dengat erat membungkus tubuhnya hingga tak memiliki celah sedikit pun untuk keluar.

"Gak usah kabur lagi, capek aku nyarinya" perlahan Shani membalikkan tubuh Sisca hingga kini berhadapan dengannya, Sisca tampak menunduk hingga helai-helai rambutnya menutupi wajah dengan senyum manis itu.

Sungguh Sisca tak kuat berada di posisi seperti ini bersama Shani, amat sangat canggung karena dirinya tak lagi bisa bebas memeluk dan bercengkrama dengan orang yang ada di hadapannya. Sisca merindukan kehangatan itu namun apa daya dirinya tak sanggup. Sempat mencoba untuk membebaskan diri tetapi lilitan itu benar-benar menjeratnya membuat Sisca akhirnya menyerah dan membiarkan Shani menatapnya dengan begitu dalam.

"Sisca tatap aku, kumohon.." nada bicara yang mulai bergetar membuat Sisca perlahan menurunkan egonya, dengan hati-hati menaikkan wajah hingga kini berada sangat dekat dengan wajah Shani.

Bersama Selamanya [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang