Seorang pria sedang berada di sebuah ruangan khas pekerja, membanting semua barang yang ada di sekitarnya, tampak guratan wajah pria itu menahan amarah yang sudah tersulut. Beribu kata tak wajar dia ucapkan dengan tangan terkepal erat.
"Sialan kau, Bima!! harusnya yang menang tender itu aku bukan perusahaan kecilmu!!" pria itu kembali menghancurkan barang-barangnya dan kini komputer yang tak memiliki salah pun menjadi sasaran empuk emosinya.
Napas pria itu memburu, terus mengumpat dan mencari-cari kesalahan yang dilakukan seorang Bima Revando Harlan. "Kau benar-benar ingin ku buat mati, Bima?"
Senyum licik mulai terlihat di bibirnya, entah berapa kali memikirkan cara untuk melenyapkan orang yang selalu mengalahkan dirinya dalam segala hal. Jangan katakan dia Brama Adijakwana jika tak bisa menghapus noda kotor di sekitarnya.
Senyum licik itu berganti menjadi tatapan tanya saat pintu ruangannya diketuk seseorang. Pria itu menghirup udara sebanyak mungkin lalu dihembuskannya dengan perlahan. "Masuk"
Brama yang telah berhasil menguasai amarahnya pun dikejutkan oleh kedatangan seorang wanita yang sangat dia kenal, ibu dari musuh terbesarnya, Rathia Yudono.
"Untuk apa anda dari ke sini, nyonya Yudono? jika ingin menertawai saya lebih baik anda keluar karena saya sedang tak ingin melayani siapa pun" ucap Brama ketus membuat Rathia tertawa layaknya penjahat.
"Bukankah kau orang yang beradab, Brama? kau tahu bagaimana cara menyambut tamu dengan baik, kan?" Brama berusaha menekan emosi mendengar ucapan yang menyudutkannya itu.
"Bukankah telinga anda masih sehat, nyonya Yudono yang terhormat? sudah saya katakan bahwa saya tidak ingin berbicara dengan tamu mana pun jadi lebih baik anda keluar atau saya akan bertindak kasar" keduanya saling bertatapan tajam dan menelisik hal apa yang bisa membuat satu sama lain tunduk hingga Brama lebih dulu mengalihkan pandangannya membuat Rathia tersenyum penuh kemenangan.
"Kau tidak banyak berubah, Brama"
"Ck, bisakah kau pergi? aku lagi males meladeni omong kosongmu, Rathia. Pergilah, jangan ganggu aku" mendengar itu Rathia malah berjalan mendekati Brama yang tampak benar-benar dongkol karena ulahnya.
"Aku akun kau akan bahagia setelah mendengar tawaranku ini, Brama" Rathia kembali bersuara yang membuat Brama menatapnya penuh tanya.
"Apa maksudmu? tolong jangan berbelit-belit nyonya Rathia yang terhormat"
"Aku mau kau membunuh anakku, Bima"
Mendengar itu membuat Brama terkejut bukan main, dia tak salah dengar, kan? bagaimana bisa seorang ibu meminta kepada orang lain untuk membunuh anak kandungnya sendiri, darah dagingnya sendiri? Rathia sudah gila kah? wanita di hadapannya ini benar-benar kejam.
"Jangan bercanda dan keluar sekarang dari ruanganku!!" teriak Brama mengusir Rathia yang malah semakin mendekatkan diri.
"Aku tak bercanda, aku memintamu untuk membunuh Bima juga demi kestabilan perusahaanmu sendiri. Apa kau mau perusahaanmu bangkrut jika Bima terus-terusan memenangkan tender yang melibatkan perusahaan kalian masing-masing? kau mau usaha yang selama ini kau bangun hancur sia-sia karena ulah anakku yang biadab itu?"
Apa yang sebenarnya terjadi kepada wanita dewasa ini? mengapa dengan mudahnya memintanya untuk membunuh anak kandungnya sendiri?
"Aku memang membencinya tapi itu jadi urusanku sendiri, nyonya Rathia. Jadi lebih baik anda keluar sekarang dari ruangan saya atau-"
"Atau apa?" napas Brama tercekat kala Rathia mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu. Terlihat kerlingan mata yang menggoda membuat Brama sulit menelan salivanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Selamanya [End]
FanfictionMenceritakan empat bersaudara di mana kakak pertamanya tidak akrab dengan kakak biologis mereka, Shani dan Gracia. Kejadian beberapa tahun yang membuat kedua kakak yang dulunya selalu berdua kini bagaikan air dan minyak yang tak bisa bersatu.