Cerita ini adalah sambungan dari cerita Tujuh Hari Setelah Ibu Pergi.
**
POV — Griselle
Latar Waktu — Sebelum pertarungan di Gunung Ciremai**
Aku berdiri di pinggir jalan. Mengamati motor yang melaju pelan di sisi jalan. "Tiga orang! Pas sekali," batinku. Motor itu ditumpangi oleh sepasang suami istri dan anaknya. Ada sebuah bus melaju dengan kecepatan sedang di belakangnya.
Ini kesempatan emas! Bergegas aku merapal mantra sembari menatap ban motor. Dalam sekejap, ban itu bergoyang-goyang, hingga membuat sang pengemudi panik.
BRUK!
Motor terjatuh ke kanan, diiringi suara jeritan sang istri. Kini mataku fokus pada bus di belakanganya. Kuminta salah satu Kuntilanak Merah untuk menutupi mata supir itu.
AWAS!
Teriak orang-orang di pinggir jalan.
ARGH!
Ban bus itu melindas tubuh ketiganya. Mereka mati seketika. Aku tersenyum kecil seraya membalikan badan. "Tiga nyawa, sesuai permintaan ayah," batinku. Kemudian, melangkah dengan santai masuk ke area rumah sakit.
Ayah sudah menungguku di lobi, dengan senyuman mengembang. "Makasih, El," ucapnya, lalu menepuk pundakku.
"Kenapa gak ayah sendiri aja sih," protesku, kesal. Karena harus menunggu hampir setengah jam di depan rumah sakit, dengan cuaca Jakarta yang super panas.
"Ayah lagi sibuk, El. Banyak pasien," balasnya.
"Dah tau di luar lagi panas-panasnya!"
"Maaf, El." Ayah mencubit pipiku. "Jangan cemberut dong. Nanti ayah dobelin uang jajannya."
"Oke!" balasku, singkat.
"Yaudah, ayah siap-siap nyambut jenazah mereka."
"Ya, aku juga mau pulang. Capek!"
"Hati-hati ya."
"Ya!" sahutku, seraya berjalan ke luar.
Suara gemuruh dan sorak sorai terdengar dari belakang rumah sakit. Para jin pesugihan itu senang, karena makanannya akan segera datang. Puluhan Kuntilanak terlihat terbang menuju tempat kecelakaan. Sementara itu, seorang kakek berbadan pendek dengan kepala besar datang menghampiriku. Namanya Ki Kendil — pemimpin Jin Pesugihan.
Tuk! Tuk!
Ia mengetukan tongkat kayunya ke lantai. "Makasih, El," ucapnya, lalu berdiri di depan pintu rumah sakit. Aku hanya membalasnya dengan anggukan, kemudian berlalu menuju parkiran.
Rumah sakit ini memang dibangun di atas tanah terkutuk. Tanah yang haus akan darah. Setiap sebulan sekali Ki Kendil meminta nyawa. Biasanya ia hanya meminta satu nyawa. Entah kenapa bulan ini ia meminta tiga nyawa sekaligus. Sungguh merepotkan!
Aku berdiam sebentar di dalam mobil, sembari mendinginkan tubuh ini. Kuputar lagu rock kesukaan. Tatapan ini mengarah ke depan, melihat kantong mayat yang digotong oleh seorang satpam dan polisi. Di atas kantong mayat itu ada seorang anak kecil yang sedang menangis sembari memegang kepalanya yang hancur.
Tak lama kemudian, Ki Kendil muncul di dekat anak itu. Ia mengikat leher anak itu, hingga menjerit kesakitan. Kemudian, anak itu dibawa ke belakang rumah sakit. Tempat penampungan tumbal. Begitulah nasib orang-orang lemah, hanya akan dijadikan makanan jin pesugihan.
Setelah suhu di dalam mobil sudah dingin, aku pun pulang ke rumah. Saat, mobil ke luar dari area rumah sakit. Terlihat puluhan Kuntilanak sedang menjilati darah korban kecelakaan itu. Mereka tampak senang sekali.
Kuntilanak Merah yang tadi membantuku melayang dengan cepat dan duduk di kursi belakang. "Makasih, El," ucapnya.
"Ya," sahutku, lalu memintanya pergi. Setidaknya ia mendapatkan imbalan yang pantas. Darah.
Sebenarnya, letak rumahku tak begitu jauh dari rumah sakit. Hanya saja, kondisi lalu lintas Jakarta di siang ini sedang padat. Sekitar satu jam kemudian, baru sampai di perumahan elit yang berada di pusat kota.
Mata ini menangkap sosok yang berdiri di depan rumah. "Lena," gumamku. Aku membuka kaca jendela. "Ngapain lu siang-siang ke rumah gua?" tanyaku.
"Gua mau ngobrol aja," balas Magdalena.
"Kan bisa lewat Whatsapp aja. Ngapain datang ke sini segala."
"Sekalian gua mau nanya sesuatu sama lu."
"Hadeh! Ya udah, masuk!"
_________
"Gua tuh tadinya mau langsung tidur siang, Len. Eh lu malah dateng," gerutuku seraya menaiki tangga.
"Sorry deh. Gua bentaran doang kok," sahutnya.
Aku membuka pintu kamar, "Emang lu mau ngomongin apa?" tanyaku, seraya melempar tas, lalu duduk di atas kasur.
"Sebentar lagi gua mau ke Gunung Ciremai," balasnya.
"Ya, gua udah tau."
"Nyi Ambar pasti udah cerita, ya?"
"Iya, dia marah sama si Siluman Anjing. Kenapa ngasih tau tempat itu? Padahal kalian tau itu daerah kekuasaan Nyi Ambar."
"Gua juga gak tau, El. Si Siluman Anjing yang bawa anak itu ke sana."
"Kalau bukan karena Haji Rofi, itu Siluman udah gua habisin."
"Sabar, El. Gua juga kurang suka sama itu Siluman."
"Terus lu mau nanya apa lagi? Gua mau tidur siang!"
Magdalena mengeluarkan ponselnya, "Rencananya kalau si Siluman Anjing gak bisa nahan mereka, gua diminta buat hadapin anak ini." Ia menunjukan sebuah foto. Seorang remaja berkulit putih. Sepertinya ia berumur belasan tahun.
"Apa yang mau lu tau?" tanyaku.
"Penjaganya kuat gak?"
Aku menatap foto itu. Muncul sebuah gambaran seorang kakek bersorban. Sosok itu berasal dari tanah arab. "Jin dari arab. Kuat, Len. Kuntilanak peliharaan lu sih kagak bakal sanggup," balasku.
"Pantesan Om Ryan juga susah ngelawan dia."
"Lah kalau Pak Ryan aja kesusahan. Apalagi lu!"
"Makanya gua minta bantuan sama lu, El."
"Kagak deh! Gua males ikut campur urusan kalian!"
"Demi sekte ini juga, El."
"Tetep, gua gak mau."
"Padahal dulu, kakek lu pernah bantuin Pak Ryan buat ngusir penjaga anak itu."
"Kakek?" ucapku, terkejut.
"Iya."
Jangan-jangan ... anak ini yang sejak kecil diawasi oleh kakek. Anak yang katanya bisa mengancam sekte ini. Nyi Ambar pernah menceritakan sedikit tentangnya, tapi aku tidak terlalu memperhatikannya.
"Siapa namanya?" tanyaku.
"Gilang Febians," balas Magdalena.
Gilang Febians. Kutatap wajahnya. Seketika itu rasa penasaran muncul di benakku. Kemampuan macam apa yang ia miliki, hingga bisa mengancam sekte ini.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekte - Para Pencari Tumbal [SUDAH TERBIT]
HorrorGilang dan Alby harus menghadapi kemarahan dari Anggota Sekte, setelah kematian Pak Ryan. Baca - Ellea dan Tujuh Hari Setelah Ibu Pergi, sebelum membaca tulisan ini.