Ki Kendil

9.5K 834 113
                                    

Aku duduk di meja makan, sambil menunggu ayah. Kulirik jam di ponsel, sudah pukul setengah sebelas malam. Seharusnya jam segini ayah sudah pulang ke rumah. Apa mungkin jalanan macet?

Kucoba meneleponnya, "Ayah di mana?" tanyaku, saat telepon diangkat.

"Masih di rumah sakit," balasnya

"Aku udah nunggu buat makan malam loh."

"Kok tumben? Biasanya makan sendiri atau makan di luar."

"Lagi pengen makan bareng aja."

"Pasti ada sesuatu. Hayo ngaku. Ayah tau banget sifat kamu, El."

"Ada yang mau aku tanyain sih." Aku tak bisa mengelaknya.

"Tanya apa?"

"Gak bisa lewat telepon, harus ngobrol langsung."

"Apa ini tentang sekte?" tebaknya.

"Ya."

"Oh, oke. Kamu tunggu ayah pulang aja. Paling sekitar satu atau dua jam lagi."

"Ayah udah makan malam?"

"Udah tadi sedikit."

"Yaudah, aku datang ke sana aja sambil bawa makan."

"Gak usah, El. Kamu tunggu di rumah aja."

"Gak apa-apa, Yah. Aku juga bosen di rumah."

"Terserah kamu deh."

"Sip."

Aku menutup telepon, lalu buru-buru kembali ke kamar untuk mengambil tas dan mengganti baju. Kemudian, memesan taksi online. Setelah menunggu sekitar 15 menit, taksi pun datang. Aku meminta sang supir untuk berhenti sebentar di sebuah restoran cepat saji yang buka 24 jam. Kemudian, lanjut pergi ke rumah sakit.

Sesampainya di depan rumah sakit, terlihat banyak orang berkumpul. Orang-orang yang sedang mengadakan doa bersama dan tabur bunga di tempat kecelakaan tadi pagi. Aku hanya bisa tersenyum sinis. Mereka pikir dengan melakukan itu, para Jin Pesugihan akan hilang. Tentu tidak. Doa mereka itu hanya menjadi nyanyian sumbang bagi para Jin Pesugihan. Tak berpengaruh apa-apa.

Seandainya ada truk yang lewat. Rasanya, ingin sekali aku membelokan truk itu ke arah kerumuman. Biar Ki Kendil kenyang dan tak minta tumbal selama setahun penuh.

Taksi berhenti di depan rumah sakit. Sepi. Tak ada seorang pun yang terlihat di depan. Aku langsung masuk ke dalam, menyapa seorang perawat yang berjaga di meja resepsionis. Kemudian pergi ke ruangan ayah di lantai tiga, dengan menaiki lift.

Sesampainya di lantai tiga, sudah disambut dengan koridor panjang. Terlihat beberapa penunggu rumah sakit terbang berhamburan. Mereka masih saja takut saat melihatku. Letak ruangan ayah berada di ujung. Ruangan direktur utama, sekaligus pemilik rumah sakit ini.

Tok! Tok!

Aku mengetuk pintu. "Masuk," sahut suara dari dalam. Kubuka pintu. "Ayah pikir kamu cuman bercanda aja, El." Ayah bangkit dari kursinya.

"Ayah ngapain sih jam segini belum pulang." Aku duduk di sofa, lalu menaruh bungkusan makanan di atas meja.

"Ini lagi nyusun rencana kerja dan anggaran, El." Ayah duduk di sampingku.

"Rumah sakit ini masih rugi?"

"Ya begitulah, El."

"Kan udah aku bilang, jangan terlalu sering minta tumbal. Jadinya bikin orang lain curiga dan muncul persepsi negatif di masyarakat."

"Itu bukan kuasa ayah, El. Beberapa tahun terakhir ini Ki Kendil jadi sering minta tumbal."

"Sebaiknya ayah bicara sama dia. Jangan sampe aku yang turun tangan."

"Ya, nanti ayah bicara sama dia. Sekarang kita makan dulu."

Kami pun menyantap makanan. "Tadi kamu mau nanya apa? Pasti penting banget sampe harus ke sini," ucap Ayah sambil mengunyah kulit ayam goreng. Itu menjadi bagian kesukaannya.

"Apa ayah kenal sama yang namanya Gilang?" tanyaku.

Ayah langsung menoleh padaku dengan wajah terkejut. Seketika senyuman di wajahnya pun menghilang. "Gilang?" ucapnya.

"Ya, anak yang katanya bisa mengancam sekte."

"Kamu tau dia dari mana?" Ayah sedikit meninggikan suaranya.

Setelah melihat perubahan sikapnya itu, aku tak mau bilang tau dari Magdalena. Ayah pasti akan marah besar padanya. "Aku mimpiin dia," balasku.

"Mimpi apa?"

"Kenalan sama dia."

"Kalau cuman kenalan, kok kamu bisa tau dia mengancam sekte?"

Sungguh sulit sekali berbicara dengan ayah. Daya analisisnya begitu kuat. Sehingga aku harus memutar otak untuk mencari jawaban yang paling aman. "Nyi Ambar. Tadi aku nanya ke Nyi Ambar. Dia yang bilang begitu," jawabku.

Maaf, Nyi. Aku tak bisa memikirkan jawaban lain. Setidaknya itu jawaban yang paling aman. Karena ayah tidak mungkin menegur Nyi Ambar.

"Nyi Ambar bilang apa lagi?"

"Cuman itu aja."

"Kamu gak bohong, kan?"

"Gak. Ayah kenapa sih?" Perubahan sikapnya itu sungguh membuatku tak nyaman.

"Gak kenapa-napa. Dulu, anak itu diawasi oleh kakek kamu. Setelah kakek kamu meninggal, perannya diganti sama Ryan," balas Ayah.

"Kalau dia memang ancaman untuk sekte ini. Kenapa tidak dibunuh aja dari kecil?"

"Kakek kamu sama Ryan punya rencana lain. Mereka ingin menjadikan anak itu bagian dari sekte ini, El."

"Dan rencana mereka gagal?"

"Bisa dibilang begitu. Rencana mereka malah bikin anak itu tambah kuat."

"Maksud ayah penjaga anak itu?"

"Iya. Jadi sebaiknya kamu hindari dia. Biar Haji Rofi dan Ryan yang membereskan masalah ini."

Aku meraih air mineral, lalu meminumnya. "Ayah masih mau di sini, apa mau pulang?" tanyaku, seraya membereskan bekas makanan.

"Pulang aja. Kerjaan nanti bisa lanjut di rumah."

"Oke."

Aku menunggu ayah merapikan meja kerja dan laptopnya. Setelah itu kami pulang bersama. "Kamu bawa mobil, El?"

"Gak," balasku seraya menekan tombol lift.

Lift pun turun menuju lobi. Saat pintu lift terbuka, ada Ki Kendil sudah menunggu di depan pintu. "Saya mau bicara," ucapnya.

"El, kamu duluan aja. Ini kuncinya." Ayah menyerahkan kunci padaku. Kemudian ia kembali naik ke lantai tiga bersama Ki Kendil.

Setelah menunggu hampir sepuluh menit, ayah pun terlihat sedang berjalan ke arah mobil. Tek! Ia membuka pintu. "Maaf, lama ya?" ucapnya.

"Gak kok," sahutku. Ayah menyalakan mobil. Ia tidak menceritakan percakapannya dengan Ki Kendil. "Tadi ngobrolin apa, Yah?" tanyaku, 

"Ngobrolnya sambil jalan aja." Mobil melaju ke luar parkiran.

Saat mobil terjebak di lampu merah, ayah baru mulai cerita. Intinya, Ki Kendil meminta tumbal lagi. Kali ini tumbal yang spesial, agar rumah sakit bisa ramai kembali. "Itu kakek-kakek rakus banget!" ucapku, kesal. "Apa perlu aku kasih pelajaran?" imbuhku.

"Jangan, El. Dia udah sering bantu kita."

"Ya, tapi ... lama-lama kurang ajar! Di mana harus cari tumbal spesial mendadak begini?"

"Ayah punya calon yang bagus. Salah satu pasien yang pernah berobat di rumah sakit. Nanti ayah kasih datanya sama kamu."

"Kenapa gak Ki Kendil aja yang datangin dia?"

"Dia bakal nemenin kamu, tapi tetep kamu yang eksekusi."

Argh! Aku malas sekali, tapi tak bisa menolak permintaan ayah. "Yaudah!"

BERSAMBUNG.

Sekte - Para Pencari Tumbal [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang