Pagi ini, ayah mengajakku sarapan di luar. Ia memilih ruangan privat. Kalau sudah begini, pasti ia akan membicarakan sesuatu yang penting. Saat memasuki ruangan, terlihat Ki Kendil sudah duduk di dekat meja. Aku menyapanya dengan anggukan kecil, tanpa senyuman. Masih kesal dengan sikap rakusnya.
"Apa kamu sudah mendapatkan targetnya?" tanya Ki Kendil pada ayah.
"Sudah," balas Ayah. Kemudian ia menunjukan foto anak kecil kisaran umur delapan tahun. "Coba kamu terawang, El."
Aku fokus menatap foto itu. Auranya perpaduan antara biru dan ungu. Aura yang biasa dimiliki oleh anak indigo. Di dekatnya ada seorang pria menggunakan beskap sunda berwarna hitam serta kain jarik coklat dan ikat kepala hitam. Sepertinya pria itu adalah penjaganya. "Penjaganya gak terlalu kuat," sahutku.
"Kalau bisa hari ini kamu harus eksekusi dia."
"Hari ini?"
"Iya, emangnya kenapa?"
"Apa gak terlalu cepet? Baru kemaren Ki Kendil minta tiga tumbal."
"Semua yang saya lakukam demi kebaikan kamu sendiri," balas Ki Kendil.
"Tapi ...." Aku berhenti berbicara saat mendengar pintu diketuk. Tak lama kemudian, dua orang pelayan masuk dan membawakan makanan pesanan kami. "Apa gak bisa ditunda dulu?" ucapku setelah keduanya pergi.
"Tidak bisa, karena situasinya sudah genting," balas Ki Kendil.
"Emang kondisi keuangan rumah sakit udah separah itu, Yah?"
"Ini bukan tentang rumah sakit, El," balas Ayah.
"Terus tentang apa?"
"Sekte."
"Emang ada apa sama sekte?"
"Apa Nyi Ambar belum cerita sama kamu?"
"Cerita apa?"
"Kejadian semalam."
Ah iya! Semalam Magdalena, Pak Ryan dan Haji Rofi pergi ke Gunung Ciremai. "Ada kejadian apa di sana?" Aku berharap tidak terjadi sesuatu pada Magdalena.
"Ryan tewas."
"Tewas? Ayah serius?"
"Iya, El."
Aku tak menyangka Pak Ryan bisa dikalahkan oleh Gilang dan rombongannya. Padahal Timira — Bayangan Hitam adalah salah satu jin yang cukup kuat di sekte ini. "Siapa yang ngalahin dia?"
"Ayah juga gak tau. Bahkan Haji Rofi juga gak tau. Waktu pertarungan antara Ryan dan rombongan Gilang, tiba-tiba areanya seperti ditutup sesuatu. Jadi gak ada yang tau kejadian pastinya gimana. Yang jelas, Ryan sudah tewas."
"Siapa yang bisa nutup area sebesar itu?"
"Gak tau. Mungkin salah satu Jin bawaan Ustad atau Kyai. Bisa juga itu ulah penjaganya Gilang."
"Nyi Ambar pasti tau."
"Coba kamu tanya ke Nyi Ambar. Biar jelas siapa yang nutup tempat itu. Biar kita bisa lebih waspada."
"Nanti aku tanyain. Terus mayat Pak Ryan dibawa ke mana?"
"Dikuburin di sana, El."
"Pasti sebentar lagi bakal masuk berita nasional."
"Udah masuk. Tadi ayah sempet liat di berita pagi."
"Gawat! Bisa-bisa nanti kita ketauan."
"Makanya sekarang Haji Rofi lagi sembunyi."
"Udah tau situasi lagi gak aman begini, kenapa Ki Kendil malah minta tumbal lagi?" Aku melirik Ki Kendil.
"Sejauh ini, posisi kita masih aman. Tidak ketahuan," balasnya.
"Gak ketauan gimana? Rumah sakit jadi sepi karena sering ada kecelakaan di depannya. Warga sekitar juga udah mulai curiga, Ki."
"Tumbal kali ini jauh dari rumah sakit."
"Iya, El. Jadi gak mungkin ada yang curiga," ucap Ayah.
"Apa gak bisa ditunda dulu?"
"Gak bisa. Ini udah perintah dari Mr X supaya kita ngumpulin kekuatan."
Aku menghela napas, "Oke. Tapi ini yang terakhi, ya! Dua bulan ke depan, aku gak mau bantu lagi."
"Iya," balas Ayah.
Selesai sarapan, aku bergegas pergi ke tempat tumbal spesial itu. Sebuah sekolah dasar yang terletak di pinggir jalan. Lokasi yang sangat pas. Tidak akan menimbulkan kecurigaan. Aku berpura-pura membeli makanan yang berada di depan sekolah.
"Biasanya anak-anak pulang jam berapa ya, Pak?" tanyaku sembari menunggu Cakwe yang sedang digoreng.
"Jam 12, Neng," balas penjual cakwe.
Aku melihat ponsel, dua jam lagi. Kini bingung harus menunggu di mana? Kuedarkan pandangan, ada sebuah warung di sebrang jalan. Lebih baik aku menunggu di sana.
Setelah menunggu hampir dua jam, di tengah cuaca Jakarta yang panas. Akhirnya terdengar suara bel pulang sekaloh. Anak-anak pun mulai terlihat berjalan ke luar gerbang. Mata ini fokus pada Ki Kendil yang sedang berdiri di dekat gerbang.
Duk! Duk!
Ia membenturkan tongkatmya, tanda targetnya sudah dekat. Tak lama kemudian anak itu muncul. Sontak aku bangkit dan menatap anak itu. Ki Kendil mulai menyerang penjaganya. Saat penjaganya lengah, aku mulai merapal mantra. Mantra yang bisa menciptakan ilusi di pikiran target.
Pandangan anak itu mulai teralihkan pada seekor anak kucing. Anak kucing yang sebenarnya tidak nyata. Aku membuat seakan-akan anak kucing itu berlari ke tengah jalan. Sesuai prediksi, anak itu berlari mengejanya. Tak sadar ada motor yang melaju dengan kencang ke arahnya.
BRUK!
Tubuh anak itu sempat melayang ke udara, lalu membentur aspal jalan. Ia mati seketika. Bergegas Ki Kendil mengikat arwahnya, lalu membawanya pergi. Aku bergegas pergi meninggalkan lokasi.
Sesampainya di rumah, kucoba menghubungi Magdalena. Telepon tidak tersambung. Mungkin ia masih terpukul atas kepergian Pak Ryan. Aku membaringkan tubuh, menonton acara televisi. Mata ini mulai terasa berat. Kumatikan televisi, lalu menutup mata. Tidur.
Aku bermimpi sedang diikat di sebuah batang kayu, di dekat rel kereta. Di sekelilingku banyak orang dengan wajah hancur. Mereka berteriak, "Pembunuh! Pembunuh!" Sebagian dari mereka melempariku dengan batu.
Setelah tubuhku lemas dan berlumuran darah. Mereka melepaskan ikatan dan menyeretku ke tengah rel kereta. Seorang anak kecil datang menghampiri. Anak yang sama dengan yang tewas tadi siang. Ia mengikatkan tali ke rel kereta, lalu berdiri di pinggir sambil menatapku.
Tak lama kemudian, terdengar suara kereta mendekat. "MATI KAMU WANITA IBLIS!" teriak anak kecil itu. Kereta semakin mendekat. Dalam hitungan detik tubuh ini sudah tersambar dan hancur.
Aku terbangun dan merasakan sakit di sekujur tubuh. Terlihat beberapa luka memar di tangan dan perut. Kali pertama merasakan hal semacam ini. Nyi Ambar tiba-tiba muncul di hadapan. "Aduh, Nyi! Ngagetin aja!" pekikku.
"Mereka mulai melakukan perlawanan," ucap Nyi Ambar.
"Hah? Mereka siapa?" sahutku, bingung.
"Para Penjaga."
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekte - Para Pencari Tumbal [SUDAH TERBIT]
HororGilang dan Alby harus menghadapi kemarahan dari Anggota Sekte, setelah kematian Pak Ryan. Baca - Ellea dan Tujuh Hari Setelah Ibu Pergi, sebelum membaca tulisan ini.